Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibnu Arabi mengisahkan dialog murid dan gurunya terkait Quran. “Wahai Guru, semalam aku mengkhatamkan Quran dalam shalat malamku.” Sang Guru tersenyum. “Bagus Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Quran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak bacaanmu.” Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Guru,” katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Quran itu.” “Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang Guru sembari menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para sahabat yang telah mendengar Quran itu langsung dari Rasulullah SAW. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”
Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Quran yang dapat aku lafalkan.” “Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru. “Nanti malam, bacalah Quran dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah SAW sendiri. Orang yang kepadanya Quran diturunkan.” Seusai shalat shubuh, Sang Guru bertanya, “Bagaimana shalatmu semalam?” “Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si murid sambil mendesah, “Itu pun dengan susah payah.” “Masya Allah,” kata Sang Guru sambil memeluk sang murid dengan bangga. “Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Quran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”
Keesokan harinya, ternyata sang murid itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanya Sang Guru. Sang murid berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, cuma al-Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah” tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia.
Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.” “Nak,” kata sang Guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.”
Di bulan suci ini wahai sahabat Quran, kita punya kesempatan untuk sampai ke sana. Pupuklah terus benih-benih Qurani dan temukan dahsyatnya, sebagaimana Allah firmankan; “Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk dan hancur berkeping-keping karena ketakutannya kepada Allah.“ (QS Al-Hasyr: 21) Dengan guyuran Quran setiap hari akan semakin menumbuhkan keimanan hingga sebesar gunung terdahsyat di muka bumi ini. Para pecinta sejati akan saling membimbing diri dan tak canggung berbagi untuk bersama mendekat kepada Ilahi.
The post Catatan Ramadhan (2): Sahabat Quran appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/catatan-ramadhan-2-sahabat-quran/