Jakarta (18/4) – Tujuh puluh tahun setelah Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung pada 18 April 1955, semangatnya masih terasa relevan dalam konteks geopolitik dunia yang terus berubah. Peringatan KAA menjadi momen penting untuk mengingat kembali peran strategis Indonesia dalam membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan setara.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menegaskan bahwa KAA merupakan cerminan dari inisiatif lokal Indonesia dalam merespons dinamika global, khususnya saat dunia sedang dilanda ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur. "Saat itu, Indonesia tidak mau sekadar menjadi objek globalisasi, melainkan ingin tampil sebagai subjek yang aktif dan menentukan arah," ujarnya.
KAA hadir di tengah memuncaknya Perang Dingin, saat dunia terbagi antara dua kutub kekuatan besar: Amerika Serikat dengan kapitalismenya, dan Uni Soviet dengan ideologi sosialisme-komunis. Di tengah situasi tersebut, Indonesia—melalui kepemimpinan Presiden Soekarno—mengambil langkah berani untuk mempertemukan negara-negara Asia dan Afrika agar tidak terseret ke dalam konflik global dua kutub.
"Indonesia memilih menjadi jembatan, bukan sekadar penonton. Itu adalah bentuk kontribusi nyata dalam membangun dunia yang lebih seimbang," ungkap Prof. Singgih, yang juga Ketua DPP LDII.
Tujuh dekade berlalu, wajah geopolitik dunia telah berubah. Banyak negara bekas jajahan kini justru menjadi kekuatan baru dalam peta global. Salah satu indikator perubahan itu adalah munculnya BRICS—aliansi yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Aliansi ini menjadi simbol pergeseran dari dominasi unipolar Barat menuju tatanan multipolar.
Meski tampak multipolar, menurut Prof. Singgih, nuansa bipolar tetap terasa. Amerika dan sekutunya di Barat masih berusaha mempertahankan dominasi global, sementara Tiongkok dan Rusia tampil sebagai penantang utama, membawa pendekatan berbeda dalam hubungan internasional. "BRICS memang tak satu ideologi, tapi mereka punya satu tujuan bersama: menantang dominasi global yang terlalu berat sebelah," tambahnya.
Dalam konteks inilah, semangat KAA menurut Prof. Singgih tetap relevan. Nilai-nilai kesetaraan, solidaritas, dan kerja sama tanpa dominasi menjadi tawaran alternatif terhadap pola relasi internasional yang timpang. "KAA bukan hanya anti-kolonialisme, tetapi juga membawa visi dunia baru yang lebih adil dan kolaboratif," katanya.
Namun, ia menekankan bahwa peran Indonesia di panggung global sangat bergantung pada kekuatan internal bangsa. “Jika kita ingin punya posisi tawar yang kuat dalam percaturan dunia, maka kita harus memperkuat rumah kita sendiri terlebih dahulu,” tegasnya.
Fondasi internal yang kokoh menjadi syarat mutlak bagi Indonesia untuk kembali berperan sebagai inisiator seperti era KAA. Stabilitas politik, solidaritas sosial, dan ketahanan ekonomi harus dijaga. "Kalau dalam negeri kita rapuh, jangan harap bisa bersuara lantang di forum internasional," jelasnya.
Menurut Prof. Singgih, memperkuat jati diri bangsa adalah kunci utama. Proklamasi Kemerdekaan dan nilai-nilai Pancasila harus terus dihidupkan, bukan hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai pedoman nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Hanya dengan memperkuat semangat Pancasila secara nyata, Indonesia bisa kembali menjadi bangsa yang disegani dan mampu memberi kontribusi nyata dalam membentuk tatanan dunia baru," pungkasnya.