Oleh: Thonang Effendi*)
Suatu pagi yang damai dengan suasana pedesaan yang asri, saya berkesempatan berkunjung ke Pondok Pesantren Nurul Hakim di Dusun Kaliawen, Kediri. Pondok ini diasuh oleh KH. Lukman Hakim, yang akrab disapa Gus Luk. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya sejak awal: seluruh santri, guru, hingga pengurus pondok terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Jawa halus—bukan hanya dalam acara formal, tetapi juga dalam percakapan sehari-hari. Bahkan Gus Luk sendiri, dalam menyapa, menasihati, atau berinteraksi, tetap menjaga kesantunan tutur dalam bahasa halus.
Padahal, santri-santri di sana datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari mancanegara seperti Malaysia dan Australia. Namun, semua dibiasakan untuk berbicara dengan tata krama bahasa yang halus. Bagi saya, ini bukan sekadar pelestarian budaya, tetapi sebuah metode pembentukan karakter yang efektif, karena bahasa, sejatinya, bukan hanya alat komunikasi, melainkan jendela ke dalam jiwa.
Bahasa membentuk rasa. Semakin halus bahasa yang digunakan, semakin lembut rasa yang terbentuk. Dari rasa yang lembut inilah akan tumbuh perilaku yang mencerminkan akhlakul karimah. Sebaliknya, ketika bahasa kehilangan kesantunan, rasa bisa menjadi tumpul. Dalam kehidupan kita hari ini, baik di dunia nyata maupun dunia maya, betapa sering kita menyaksikan luka hati hanya karena kata. Lidah tak bertulang, tapi tajamnya bisa menggores lebih dalam dari sembilu.
Islam sejak awal telah mengajarkan pentingnya menjaga lisan. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 70–71, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosamu…” Ayat ini memberi pesan kuat: bicara yang baik bukan sekadar etika, melainkan ibadah yang menyempurnakan amal.
Pesan luhur ini sejalan dengan prinsip akhlakul karimah dalam pendidikan karakter generasi muda. Dalam program Tri Sukses Generasi Penerus dan pilar 29 karakter luhur yang diusung oleh LDII, bicara yang baik adalah bagian penting dari pembiasaan akhlak. Bahkan dalam lima syarat kerukunan, salah satunya adalah berkata yang baik dan tidak menyakiti. Ini menunjukkan bahwa harmoni dalam hidup bermula dari lisan yang terjaga.
Gus Luk dan pondok pesantren yang beliau asuh menunjukkan bahwa pembiasaan bahasa halus bisa menjadi jalan efektif dalam mendidik akhlak. Tidak hanya dengan nasihat dan mengaji, tetapi dengan keteladanan tutur yang konsisten. Santri belajar bukan hanya dari kitab, tapi dari keseharian. Dari sapaan yang lembut, dari nasihat yang santun, dari teguran yang tetap menjaga rasa.
Nabi Muhammad SAW pun memberi teladan sempurna dalam menjaga lisan. Beliau tak pernah berkata kasar, tak pernah menghina, dan selalu menggunakan kata-kata yang menentramkan. Bahkan saat dihadapkan pada caci maki atau kebodohan orang lain, beliau menjawab dengan kelembutan yang meneduhkan.
Di tengah arus komunikasi yang kian cepat dan kadang tidak manusiawi, kita rindu akan bahasa yang menyejukkan. Kita merindukan ruang-ruang di mana orang saling menyapa dengan rasa, bukan prasangka. Karena itu, mari kita mulai dari hal yang sederhana: membiasakan bicara yang baik, menjaga lisan, dan memilih kata-kata yang menguatkan.
Barangkali, dari satu kalimat yang santun, kita bisa memperhalus dunia.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII