Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Catatan Ramadhan (1): Menjadi Abu Dhomdhom

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 04 April 2022, 05:04:03

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Bagi para pencari cahaya kedamaian, nasehat indah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini; “Tidaklah Allah menambahkan sesuatu kepada orang yang memaafkan kecuali kemuliaan,” (Rowahu Muslim), mungkin terasa biasa saja. Berbeda jika diberi penekanan seperti ini; “Teruslah belajar memaafkan. Bukan karena orang lain penting, akan tetapi karena kedamaian dan kemuliaan Anda sangatlah penting”, rasanya jadi berbeda. Pemahaman manusia akan pentingnya memaafkan menjadi jauh lebih dalam. Sebab ketulusan dan keberanian untuk memaafkan, membuat jiwa mana pun tumbuh tinggi tanpa penghalang. Sebaliknya, yang gagal memaafkan secara jangka panjang akan menumbuhkan tembok tebal, tinggi dan keras yang membuat seseorang gagal menemukan wajah kehidupan yang penuh kesejukan, keberlimpahan dan kedamaian.

Tengoklah kisah Abu Dhomdhom. Nabi Muhammad SAW pernah berkata kepada para sahabat: ”Apakah salah seorang diantara kalian tidak mampu seperti Abu Dhomdhom?” Sahabat bertanya: _”Siapa dia (Abu Dhom Dhom) Ya Rasulullah?”, Rasulullah SAW mengatakan:”Dia adalah seorang lelaki yang senantiasa berkata:”Ya Allah hari ini aku bersedekah dengan kehormatanku, siapapun yang dzalim kepadaku, mencemarkan kehormatanku aku maafkan.” (HR. Abu Daud) Jangankan manusia, Malaikat pun dibuat terkagum-kagum karenanya.

Memaafkan adalah hal yang sederhana; mendekap orang yang melukai, mendekati orang yang menghina atau memaafkan orang yang mencerca. Namun kadang banyak orang dihinggapi kebingungan; jangan-jangan dengan dimaafkan nanti tambah melukai, tambah besar kepala atau tambah melukai hati banyak orang. Karenanya, sikap memaafkan membuat hati yang sakit terasa tambah sakit. Ujungnya bisa ditebak, banyak sahabat yang berniat mulia mau memaafkan, kemudian berbalik mengurungkannya. Berbeda dengan Abu Dhomdhom, bahkan sebelum terjadi dia sudah antisipasi. Dalam riwayat jalur lain, ia senantiasa berdoa; “Ya Allah aku sedekahkan kehormatanku untuk kaum muslimin. Maka siapa saja yang mengejekku, menggunjingku, menyakitiku atau berbuat buruk kepadaku, sungguh aku telah memaafkannya di dunia ini. Aku tidak akan menuntutnya atas hakku kelak di akhirat.”

Agar sehat dan selamat, pertama belajarlah memaafkan mulai dari dalam hati saja. Kenali penderitaan orang yang melukai; dari masa kecil yang bermasalah atau keluarga yang penuh musibah, lalu bisikkan di dalam doa semoga orang ini baik dan bermanfaat. Seseorang yang jiwanya terluka tidak saja karena reaksi orang di luar, tapi juga karena sempitnya ruang-ruang pengertian di dalam; dari pikiran picik, merasa selalu benar sedang orang lain selalu salah. Tak ada yang berpihak, semua-semua dihadapi sendiri.

Kedua, bagi sahabat yang sangat sensitif dan mudah terluka, belajar komunikasi telepatik yang sehat dengan membayangkan sisi-sisi baik dari orang yang melukai. Entah pernah dikasih uang, dipinjami barang, diajak makan, atau malah pernah diselamatkan. Tidak sedikit orang-orang yang menghina, mencerca, menimbulkan luka, kemudian datang tanpa diudang menceritakan rasa bersalah serta meminta maaf secara sangat mendalam. Bentuk memaafkan yang menang-menang, sehingga terasa terang dan mencerahkan.

Ketiga, selama di dalam masih terbakar dan terluka, jauhi lingkungan yang memungkinkan seseorang mengingat kembali luka lama jiwa. Dengan ini tidak saja menjaga diri sendiri, tapi juga menjaga orang lain dari kemungkinan untuk melukai lagi. Pertahankan keadaan pikiran yang netral, jauh dari hal negatif dan positif. Hasilnya sebuah tindakan yang berani dengan datang memaafkan kepada orang-orang yang melukai pada momen-momen penting yang tidak terduga menuju kesembuhan dan kemuliaan. Jiwa menjadi sangat tenang dan memancarkan vibrasi indah ke lingkungan sekitar.

Mengilas balik kisah Abu Dhomdhom, para tetua sering berpesan; “Memaafkan memang tidak mengubah masa lalu, tapi memaafkan bisa mengubah masa kini jadi jauh lebih indah secara meyakinkan, menuju jiwa masa depan yang bercahaya dan mulia.” Sebab jiwa menjadi mulia inilah, maka Allah mengganjar dengan pahala yang tidak terkira; “Barangsiapa yang memaafkan dan mendamaikan, maka pahalanya atas Allah SWT.” (QS: Asy-Syura: 40).

Berani memaafkan adalah sebuah pilihan bijak dan menguntungkan menuju pintu megah kemuliaan. Apalagi di bulan suci ini. Semoga Abu Dhomdhom menginspirasi.

The post Catatan Ramadhan (1): Menjadi Abu Dhomdhom appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/catatan-ramadhan-1-menjadi-abu-dhomdhom/

built with : https://erahajj.co.id