Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Mabuk

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 05 Desember 2022, 01:17:15

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Walau sudah berusaha sekuat tenaga, mastatho’tum dalam bahasa agamanya, rasanya belum juga ada perkembangan nyata. Landai-landai saja. Masih seperti itu-itu juga. Mau berucap syukur kagok. Mau istirja’ malu. Karena maju tidak, mundur iya. Repot dibuatnya. Walau sudah mencari pencerahan ke sana-ke mari, belum juga mendapatkan jawaban pasti. Belum hilang keraguan-keraguan di dalam hati. Ada rasa cemas dan was-was. Kadang malah bingung sendiri.

Ujung-ujungnya istighfar yang jadi pengalihan. Dengan rasa bersalah dan cita-cita yang tak terbalas. Walau sudah melakukan pendalaman, nyatanya belum juga menyingkap rahasia terpendam. Masih diperlukan tambahan waktu dan bimbingan. Juga kesabaran untuk memahami pesan tua yang terus menghantui. Walau sebaliknya, dengannya pun orang bisa memacu diri menjadi lebih baik, namun tetap menjadi sebuah misteri. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

“Sesungguhnya seorang lelaki niscaya selesai dari salatnya akan tetapi tidaklah ditulis pahala baginya, kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya.” (HR. Abu Daud)

Seorang sahabat dekat, setelah mendengar keluhan saya, memberikan nasehat menghibur dan terbuka. Ternyata, apa yang saya rasakan juga ia rasakan. Oleh karena itu, ia segera membuka diri mengajak untuk bersama-sama mencari jawabannya seraya meningkatkan taraf ibadah ke tingkat selanjutnya. Seorang sahabat jauh, begitu mendengar keluhan saya langsung tertawa. Saya kira pada awalnya menghina, tetapi kemudian ia menyampaikan bahwa itu masalah semua orang. Tidak usah bersedih, nikmati saja. Yang jelas kewajiban sudah tertunaikan. Tinggal membangun sedikit-sedikit, menambal yang berlubang, yang menjadi pekerjaan rumahnya kemudian. Seperti sudah menjadi zamannya, banyak orang yang salat tapi kurang kekhusyu’annya. Ditambah lagi jaman gadget yang benar-benar mengalihkan konsentrasi. Jangankan berkomunikasi dengan Tuhan, dengan sesama, gawai itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Karena gawai membuat yang gaib jadi nyata, sehingga Tuhan pun menjadi nisbi, semakin tiada.

Maka, tidaklah heran ketika dalam sebuah majelis taklim, menyikapi fenomena ini, seorang guru sederhana menyimpulkan sembari mengingatkan bahwa sekarang ini banyak orang mabuk yang salat. Saya pun terkesima pertama kali mendengarnya. Senada dengan kesederhanaannya dia melanjutkan nasehatnya. Bukan mabuk shalat, karena mabuk salat itu baik yang berarti pengin salat terus, banyak salat, banyak ketemu Allah, seperti mabuk cinta. Akan tetapi ini orang mabuk yang salat. Tindakan yang tidak dibenarkan secara syariat. Kemudian dengan sederhana pula dia sitir Surat An-Nisa ayat 43 sebagai hujah untuk memperkuat uraiannya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)

Ayat itu adalah ayat kedua yang turun dalam masalah khamr, setelah yang pertama di Surat Al-Baqarah: 219, dan yang terakhir Surat Al-Maidah: 90. Terus apa hubungannya dengan hadits di atas? Saya penasaran dibuatnya.

Ternyata, dengan lincah lisan sang guru sederhana tadi merangkai hubungan ayat ini dengan hadits di atas melalui penjelasan bermakna tentang pentingnya kesadaran (mindfulness) dalam salat. Orang mabuk, tidak diterima shalatnya karena tidak sadar sepenuhnya. Tak lain karena pengaruh khamr yang menutupi akal. Bagaimana dengan indikator sadar dalam salat? Allah memberikan penjelasan dalam rangkaian ayat selanjutnya yaitu mengerti apa yang diucapkan. Orang mabuk itu tidak sadar ia mengucapkan apa dan sedang apa. Sampai di sini, pemahaman saya mulai nyandak. Maklum manusia supen alias sumbu pendek, cepat lupa dan sangat dangkal pemahamannya.

Mendengar lanjutan narasinya, secercah perasaan lega membuncah, layaknya menemukan kunci misteri yang lama menyelimuti. Perpaduan gerakan dengan bacaan kebanyakan pelaku shalat sudah melakukan dengan benar. Hampir tidak ada kendala dalam hal ini. Takbir dengan mengangkat tangan, ruku’ dengan membungkuk dan sujud dengan mencium tanah. Atau salam dengan menengok ke kiri dan ke kanan. Semua gampang dikerjakan. Tapi padu-padan bacaan dengan penghayatan, ini yang sering menjadi sandungan. Yang dibaca apa pikirannya kemana. Bibirnya bergerak membaca doa apa, batinnya berjalan entah kemana. Apalagi memadukan gerakan, bacaan dan pikiran. Sungguh pekerjaan yang luar biasa. Dan kesalahan sedikit dalam merangkai tiga hal ini masuk kategori “mabuk”.

Dalam kalimat hikmah bersahaja yang terus meluncur deras dari kedua bibir tirusnya, guru sederhana tadi terus memberikan kilatan-kilatan pencerahan. Jadi sekarang ini, banyak orang salat tapi seperti orang mabuk. Walau tidak pernah sekalipun mereka menyentuh khamr atau menenggak arak. Karena banyak orang yang salat tetapi tidak mengetahui apa yang mereka baca. Gerakannya terukur, namun ucapannya ngelantur. Tidak sabar menyimak apa yang mereka ucapkan. Lahir dan batinnya tidak sejalan. Fisik bibirnya bergerak-gerak membaca bacaan shalat, tapi batinnya bergerilya, menjelajah kemana-mana. Padahal tidak mabuk. Bagaimana yang demikian itu bisa mendatangkan pahala yang penuh? Maka dapat sepersepuluh, dapat sepersembilan pun masih untung, selain gugur kewajiban salatnya.

Terus terang saya takluk dibuatnya. Jujur, seperti itulah yang masih sering saya lakukan. Walau ada sedikit kabar gembira dengan gugur kewajibannya, namun tetap menjadi perhatian serius ke depan. Mengingat salat itu sangat penting, ia sebagai tiang agama, pertama kali amal yang ditanya nanti di akhirat maka, mau tak mau, usaha lebih dan berkelanjutan amat sangat perlu dilakukan. Harus dipersungguh dan diperlu-perlukan sampai berhasil. Walau tidak tahu kapan akan berhasil, tak boleh berputus asa. Karena kita semua tahu sungguh beruntung jika bisa meraih dengan sebenar-benarnya. Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam salatnya.” [QS al-Mukmin : 1-2].

Melengkapi akhir dari tulisan ini, sambil menikmati kelancaran di salah satu ruas jalan tol negeri ini, saya sering membaca peringatan: Nyopir jangan ngantuk, ngantuk jangan nyopir. Hal ini penting karena nyawa taruhannya. Ia bisa mengantar pindah dari alam dunia ke alam baqa. Begitu pula dengan salat. Ia yang menjadi andalan sebagai bekal yang akan kita tuai di alam sana. Oleh karenanya, jangan main-main, mulai sekarang ingatlah selalu; Mabuk jangan salat, Salat jangan mabuk!

The post Mabuk appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/mabuk/

built with : https://erahajj.co.id