Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Esai: Bludrek (Leadership)

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 23 September 2020, 05:09:33

Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang

Sudah diketahui secara umum, di tengah pasang-surut kehidupan, konon sering marah – marah alias bludrek, bukanlah pertanda baik. Marah dapat menjerumuskan kita ke jurang stress dan kerusakan lainnya. Para dokter bahkan bilang, bludrek berbahaya bagi kesehatan. Begitu juga cerita kebanyakan orang. Punya orang tua, punya atasan, punya teman, apalagi pasangan, yang sering marah-marah tidak karuan, sungguh tidak enak selain juga menyebalkan.

Marah adalah manusiawi, karena marah adalah bagian dari kehidupan setiap manusia. Tidak ada manusia yang tak memiliki sifat amarah, berapapun kadarnya. Hanya, seberapa jauh, setiap orang memiliki kemampuan menahan dan mengendalikan sifat amarah dalam dirinya, itulah ukuran yang harus diperhatiakan dalam proses kepemimpinan yang baik. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah mereka yang marah, namun bisa menahan dirinya.”

Stanley Bing, penulis buku Sun Tzu Was A Sissy mengatakan bahwa marah itu sangat diperlukan dalam kepemimpinan. Kalau seorang pemimpin marah, artinya dia terusik dan gusar oleh sesuatu hal. Sekaligus membuktikan bahwa ia eling atau sadar karena ada yang tidak beres dan perlu dikoreksi. Pemimpin yang tidak pernah marah sama dengan pemimpin acuh tak acuh.

Teladan indah juga datang dari Rasulullah SAW dalam urusan yang satu ini. Rasulullah SAW juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah SAW tidak pernah marah karena pribadinya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا سَلِيمٌ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ ـ رضى الله عنه ـ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلاَةَ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ ـ قَالَ ـ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ‏.‏ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا، وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ، فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ‏.‏ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ـ ثَلاَثًا ـ اقْرَأْ ‏{‏وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا‏}‏ وَ‏{‏سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى‏}‏ وَنَحْوَهَا ‏”

Sesungguhnya Muadz bin Jabal biasa sholat bersama dengan Nabi (ﷺ) dan kemudian pergi memimpin umatnya dalam sholat. Suatu ketika dia memimpin orang-orang dalam sholat (Isya attamah) dan membaca Surat-al-Baqara. Jabir bin Abdillah berkata; Seorang pria meninggalkan barisan terus shalat terpisah dengan cepat. Ketika Muadz mengetahui hal itu, katanya; “Dia (pria itu) munafik.” Kemudian orang itu mendengar apa yang dikatakan Muadz tentang dia, maka dia datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah (ﷺ)! Kami adalah orang-orang yang bekerja dengan tangan kami sendiri dan mengairi (ladang kami) dengan unta kami. Tadi malam Muadz memimpin kami dalam sholat (Attamah) dan dia membaca Sura-al-Baqara, jadi saya shalat secara terpisah, dan karena itu, dia menuduh saya munafik.” Nabi memanggil Muadz dan berkata tiga kali, “Wahai Muadz! Apakah kamu akan membuat kerusakan (kabur dan lari orang-orang)? Bacalah ‘Wasysyamsi wad-dhuhaha’ (91) atau ‘Sabbihisma Rabbika-l-A’la ‘(87) atau semisalnya.” (Rowahu Al-Bukhary)

Marah membangkitkan energi yang luar biasa. Pemimpin yang marah biasanya segera melakukan perubahan, peremajaan, dan perbaikan. Artinya, pemimpin marah memungkinkan terjadinya perubahan lebih cepat dan berarti. Gambarannya, seperti membuat seekor kuda berlari, dengan cemeti atau hadiah wortel. Menurut Stanley Bing, marah bisa menjadi cemeti yang kreatif. Membakar pendengarnya agar terus bersemangat dan mengadakan perubahan.

Tulisan ini tentu saja tidak mengajak untuk menjadi tukang marah-marah. Juga bukan pembenaran tindakan marah-marah dalam ranah kepemimpinan. Melainkan sebagai upaya mengasah kepekaan terhadap respon kita atas lingkungan sekitarnya. Marah sebagai bagian dari kepemimpinan memang antibudaya. Budaya kita mengajarkan agar selalu santun dan bersabar. Namun, untuk menerobos sebuah kemapanan yang buntu dan berkarat, marah bisa saja menjadi antibudaya yang dibenarkan. Asal jangan asal marah. Marahlah dengan bijaksana.


Sumber berita : https://ldii.or.id/esai-bludrek-leadership/

built with : https://erahajj.co.id