Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Manusia penuh dengan cerita ada dimana-mana. Ceritanya penuh dengan derita, begitu sejarah mencatatnya. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus timah panas sampai menghembuskan nafas terakhir. Di Myanmar, para pendeta Buddha tanpa rasa berdosa membakar hidup-hidup muslim Rohinya. Tiba-tiba saja, Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia, menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Selanjutnya Rusia, yang seolah tak mau ketinggalan, secara tiba-tiba membombardir Ukraina dengan senjata berat. Dan belum lepas dari ingatan, gempa dahsyat yang mengguncang Turki – Siria, puluhan ribu jiwa melayang dalam sekejap. Tak ketinggalan, di negeri tercinta, dikejutkan dengan kekerasan di kalangan remaja yang amat mengkhawatirkan. Membaca dan menghubungkan tanda-tanda seperti ini, ada yang mengirimkan pesan untuk direnungkan, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka (baca: derita)? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana juga.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خير مِنْهُم
Dari Abi Hurairah, dia berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. (HR Muslim)
Mari tengok lagi riwayat perjalanan jiwa yang disebut manusia. Dilihat dari sisi bahan, manusia bermaterikan bahan-bahan penuh cinta. Orang tua berpelukan penuh cinta, ketika memadu asmara. Olah gerak dan nafas yang bergelora, semua beraroma cinta. Disusui oleh ibu yang penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Sumber makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Sayangnya, sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (HR Muslim)
Perilaku dan perjalanan kehidupan banyak digambarkan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Tak ada yang menghalangi. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi, mencerahkan dan penuh harapan. Namun, dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik dan penuh penderitaan. Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalannya banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Untuk itu, selanjutnya banyak guru menuturkan untuk melihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu.
{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا (45) الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا (46) }
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi 45-46)
Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang mendamaikan. ‘Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti’, demikian pesan sejuk seorang guru. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: ‘dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung’. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh. Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah yang baik dengan bahasa-bahasa cinta.
Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar. Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangan-kekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: ‘cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya’. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حماد بن زيد عن ثابت عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّاعَةِ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ لَا شَيْءَ إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
Sulaiman bin Harb telah menyampaikan kepada kami, dia mengatakan, ‘Kami diberitahu oleh Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas Radhiyallahu anhu ,dia mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan, ‘Kapankah hari kiamat itu?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasûlullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan.’ (HR Al-Bukhari)
Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta sebenarnya. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: ‘bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana’. Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orang-orang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk? Mari kita siapkan cerita cintanya dari sekarang, agar hidup lebih hidup. Dan kelak bisa hidup dengan orang yang kita cintai di rumah cinta yang indah untuk selamanya.
The post Cerita Cinta appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/cerita-cinta/