Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Bagi mereka yang melabeli diri sebagai penekun dan pemerhati kehidupan, perlu rasanya menikmati anekdot indah berikut ini. Setidaknya sebagai bahan renungan atau semacam piranti lunak untuk mengasah kepekaan jiwa. Sudah sejauh mana kemajuan spiritualitas yang sudah dibangun. Hidup tidaklah sekedar hidup. Urip iku urup, hidup itu harus hidup dalam arti yang luas, tak terbatas maupun yang terbatas. Ujungnya lahir manusia-manusia terbaik di bumi ini. Persis seperti apa yang disampaikan dalam Kitab Suci:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَياةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dialah dzat yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk:2)
Kisahnya, suatu hari Nasrudin membuat kehebohan dan viral di lini masa. Tak lain karena tingkah polah anehnya dengan menaiki keledai dengan cara menghadap ke arah ekornya. Sebab umumnya orang naik keledai menghadapkan badannya ke depan, bukan ke belakang. Tentu saja ini mengundang banyak protes, banyak tanya dan juga cerca; apa maksud pecinta lelucon tingkat tinggi ini? Awalnya, Nasrudin hanya diam. Tetapi lama-lama dia kesal juga karena ditanya terus oleh banyak orang. Akhirnya ia menyerah dengan memberikan jawaban sambil bergumam, “Saya tidak tertarik merenungkan ke mana kehidupan akan pergi, saya hanya berkontemplasi dan tertarik instrospeksi dari mana kehidupan berasal.”
Inilah hentakan khas ala Nasrudin. Glekk! Pertama, direnungkan tidak direnungkan, dipikir tidak dipikir, kehidupan terus bergerak maju. Roda kehidupan tetap berjalan menggelinding ke depan bersama sang waktu. Dulunya tidak ada menjadi ada, setelah beberapa waktu kemudian tidak ada lagi. Dari lemah kemudian tumbuh menjadi kuat. Setelah sekian waktu, kemudian lemah lagi dan beruban. Suka tidak suka, tahu tidak tahu, kematian semakin dekat dari hari ke hari. Tidak terbilang, tidak perlu undangan. Saat tiba waktunya, semua tunduk, tidak berkutik, tidak bisa menolak taqdirNya. Seperti tetangga belakang gang rumah saya beberapa hari yang lalu. Pagi berangkat kantor segar-bugar, siangnya diantar pulang dalam ambulans. Keluarga sontak kaget dibuatnya. Demikian juga salah satu anak tokoh terkenal negeri ini. Bermaksud liburan ke Swiss dan melanjutkan kuliah di sana. Namun rencana tinggallah rencana. Tak disangka, ternyata itulah panggilan akhir hidupnya, ketika asik berenang ajal datang menjemputnya. Lini masa pun ramai memberitakannya. Itulah inti pesan yang ingin disampaikan. Selain semakin mendekat, kematian juga menjadi misteri. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Lukman : 34)
Kedua, tanpa pengetahuan dan pengalaman mendalam tentang asal-muasal kita, semua manusia akan bernasib serupa pohon yang dicabut dari akarnya. Tidak tahu siapa yang menanam, untuk apa ditanam, tahu-tahu jadi kayu bakar. Sudah begitu, pakai protes lagi. Bahkan banyak yang tidak tahu bahwa manusia terdiri dari dua bagian tak terpisahkan yaitu ruh dan jasad. Celakanya, banyak yang ingin memisahkan ruh dari jasad. Hanya memenuhi kebutuhan tubuh, lupa memperbaiki dan mengenal ruh sebagai asal-muasal. Itu sebabnya, Plato ribuan tahun yang lalu pertama kali memperkenalkan istilah soul mate (belahan jiwa) sebagai bahan pencarian.
Ketidaktahuan, khususnya, telah membuat manusia percaya bahwa jiwanya terbelah. Lebih menyentuh hati lagi, orang percaya belahan jiwanya ada di luar. Alhasil, berlomba-lomba mencari kesenangan mata, yang indah didengar, enak dirasa dan elok disentuh saja. Ujungnya bisa ditebak; mencari dan kecewa. Dan dalam perjalanan mencari dan kecewa ini, pencerahan datang menjelaskan sisik-melik atau teka-teki kehidupan ini dengan firmanNya yang jelas:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ () مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ () إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS Adz-Dzariat: 56 – 58)
Berbeda dari pemikiran mainstream, orang-orang yang tercerahkan, yang rajin menggali ke dalam diri dengan kedalaman penggalian yang mengagumkan menemukan, sejak awal jiwa manusia tidak pernah terbelah. Jiwa dan raga, ruh dan badan adalah satu kesatuan. Digali tidak digali, ia utuh dan komplet apa adanya. Allah berfirman:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ () ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ () ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ)
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)wya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS As-Sajdah: 7-9)
Apa yang disebut Plato dengan belahan jiwa sesungguhnya sejenis kerinduan akan keutuhan (the thirst of wholeness). Dan kerinduan ini adalah sebuah panggilan sejati, panggilan Ilahi. Itu sebabnya, sejumlah sahabat dibimbing seperti lirik sebuah lagu: let it be, let it be, let it be, let it be…whisper words of wisdom le it be. Biarkan semuanya mengalir sempurna apa adanya. Tatkala semuanya sudah mengalir sempurna apa adanya, di sana lahir kemungkinan berupa terdengarnya bisikan keutuhan kebijaksanaan, seperti keindahan Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al An’am: 74 – 79).
Setiap pencarian akan belahan jiwa di luar, semuanya berujung pada kekecewaan. Oleh karena itu, shalat, zikir, yoga dan tata cara ibadah yang lain semuanya mengajarkan penggalian ke dalam. Shalat dan zikir khususnya tekun sekali mengajarkan, ke mana saja bandul pikiran dan perasaan bergerak, selalu dibisikkan: “Kembali ke tengah (Allah), saksikan dengan penuh belas kasih (ingat rahmat Allah), kemudian terima dengan penuh senyuman (banyak bersyukur).” Kenapa demikian, tidak saja karena otak manusia menyukai kondisi home statis yang berada di tengah, tetapi juga karena keutuhan lebih mungkin dirangkul dan dipeluk tatkala batin berada di tengah. Itu sebabnya penekun kehidupan yang khusyu’ shalat dan banyak dzikirnya merasa tenang dan nyaman hidupnya, di samping karena bandul pikiran perasaan bergerak sangat minimal, batin pun sudah bersatu menuju pada keutuhan jiwa dan raga. Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Qs. ar-Ra’du: 28).
Keutuhan, kebersatuan dan ketenangan adalah sebuah keadaan di mana jiwa tidak terbelah, sekaligus tidak memunculkan kerinduan akan hadirnya belahan jiwa di luar. Dalam studi psikologi, ia disebut well being. Keadaan batin yang sangat berkecukupan. Tubuh manusia – demikian pula masyarakat – di satu bagian berisi mulut, di bagian lain ada dubur. Dubur kerap disebut kotor, tetapi tanpa dubur semua tubuh mengalami kehancuran. Dengan cara yang sama, kesedihan, kemalangan, orang jahat di masyarakat senantiasa ada di setiap putaran waktu. Ia bukannya tanpa guna, serupa dubur ia berfungsi untuk membuat keutuhan berputar sempurna apa adanya. Sampai di sini, kehidupan kemudian bukannya cuek dan tidak peduli.
Kehidupan juga menyerupai taman. Tidak ada taman yang sengaja ditanami rumput liar. Kendati tidak ditanam, rumput liar senantiasa tumbuh. Tugas penata taman kehidupan dalam hal ini, kendati tahu bulan depan rumput liar akan tumbuh lagi, adalah tetap mencabut rumput liar dengan suka-cita tanpa keluhan. Maka ada yang berpesan, enlightenment ultimately means letting go all drama and melodrama of life, then simply flow. Pencerahan artinya membiarkan semua drama dan melodrama kehidupan berlalu, kemudian mengalir begitu saja.
{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا ) الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا ) }
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi 45-46)
Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa membantu menunjukkan jalan untuk membuka misteri. Jangan sampai malah menjadi misteri kehidupan yang baru. Misteri di atas misteri. Dan misterius.
The post Misteri appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/misteri/