Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Catatan Ramadhan (19): Duhai (Mutawari’)

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 21 April 2022, 10:10:59

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW menceritakan ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari laki-laki lain. Laki-laki pembeli tanah itu menemukan gentong berisi emas di tanah tersebut. Pembeli tersebut merasa emas itu bukan miliknya sehingga ia berkata kepada penjual, “Ambillah emasmu itu. Aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emas.” Hanya saja, sang penjual tanah juga bersikap sama. Menganggap emas itu bukan miliknya. “Aku menjual tanah dengan apa yang ada padanya kepadamu,” ujar pemilik tanah tersebut menolak menerima emas itu. Lalu keduanya membawa masalah tersebut kepada seorang pengadil . Sang pengadil bertanya, “Apakah kalian berdua mempunyai anak?” Salah satu menjawab, “Aku mempunyai anak laki-laki”. “Aku mempunyai anak perempuan,” jawab yang lainnya pula. “Nikahkan anak laki-lakimu dengan anak perempuannya. Infakkan kepada keduanya dari harta itu dan bersedekahlah,” ujar hakim memutuskan. (HR Muslim)

Kisah serupa terjadi di masa akhir tabi’in. Di pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda, bernama Tsabit. Tiba-tiba sebutir apel jatuh dan keluar dari sebidang kebun yang luas. Ia mengambil dan memakannya. Tapi baru separuh dimakannya, ia tersentak. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya? Akhirnya ia menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut, “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”

Penjaga itu menjawab, “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.” “Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit. “Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga. Berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun, “Saya datang untuk minta kerelaan Anda terhadap separuh apel milik Anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.” “Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah, kecuali kalau engkau menerima syaratku, yaitu menikah dengan putriku yang buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri. Kalau kau terima, kamu saya maafkan dan nikahkan.” Akhirnya Tsabit menerimanya.

Malam itu, dia melangkah memasuki kamar istrinya. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya, dan berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu kebingungan, sebab istrinya dikatakan sebagai gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Lantas gadis ini? Siapa gerangan dia? Akhirnya sang putri menjelaskan. “Apa yang dikatakan ayahku, demi Allah, bukanlah dusta. Saya buta karena tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai oleh Allah. Saya bisu karena tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah murka. Saya tuli, karena tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah. Dan saya lumpuh untuk melangkahkan kaki kecuali ke tempat yang diridhai Allah.”

Dari pernikahan ini, lahirlah seorang hamba Allah Ta’ala yang saleh. Dia memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man. Dialah Nu’man bin Tsabit, Abu Hanifah rahimahullah.

Duhai, bisa memiliki sifat seperti dua lelaki di atas. Duhai, sekiranya bisa meniru pemuda Tsabit, ayahanda Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaan’, ‘kebisuan’, ‘ketulian’, dan ‘kelumpuhannya’. Alangkah bersyukurnya.

The post Catatan Ramadhan (19): Duhai (Mutawari’) appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/catatan-ramadhan-19-duhai-mutawari/

built with : https://erahajj.co.id