Jakarta (20/2). Yudi Latif, Akademisi Universitas Paramadina mengungkapkan, Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan memiliki penduduk yang majemuk, sehingga untuk mengurus dan menjaga ketertiban Indonesia, harus memiliki keluasan mental seluas Indonesia, dan memiliki kekayaan rohani sebanyak dan semajemuk Indonesia.
Ia menjabarkan, Pancasila menggambarkan keragaman Indonesia dari berbagai sisi. “Sila pertama menggambarkan keragaman agama, sila kedua menggambarkan keragaman ras manusia, sila ketiga menggambarkan keragaman etnis, adat, dan budaya, sila keempat menggambarkan keragaman aliran-aliran dan afiliasi politik, serta sila kelima menggambarkan keragaman bentuk lapiran hirarki sosial dan peradaban,” ujarnya saat menjadi narasumber Webinarnas DPP LDII, Perpol No. 1 Tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat dan Peningkatan Peran LDII dalam Kerjasama dengan Polri untuk Pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat, Minggu (20/2).
Menurutnya, dalam kondisi keterkinian, fenomena globalisasi membawa dua konsekuensi, pertama globalisasi adalah take away, menarik bangsa dipersatukan dalam pengaruh internasional, lewat teknologi telematika. Sehingga, pusat global merembes masuk ke berbagai wilayah, bahkan masuk pada sudut terpencil di dunia, menghasilkan fenomena global village.
“Akibatnya, ideologi global merembes masuk nyaris tanpa gatekeeper. Dahulu ulama dan kyai, bisa menyeleksi dahulu, baru kemudian mana yang diperbolehkan masuk ke masyarakat, mana yang tidak. Kini dengan teknologi digital, merembet masuk ke desa,” ungkapnya.
Kedua, globalisasi bersifat pushdown, menekan bangsa dan negara ke bawah, sehingga melahirkan luberan. Hal tersebut, membuat Indonesia yang majemuk dikarenakan tekanan globalisasi tersebut, menghadapi kenyataan pluralisasi eksternal dan internal,” jabarnya.
Kompleksitas tersebut membuat, isu yang berkaitan dengan conflict resolution, bagaimana menjaga ketertiban dan keamanan, mendapatkan tekanan yang sangat serius.
Tekanan terhadap nilai Pancasila, dapat dilihat dari tekanan yang mengalir pada setiap sila itu sendiri. “Sila pertama, mestinya mengajak, apapun perbedaan agama, aliran, dipersatukan semangat ketuhanan yang welas asih, tapi sekarang, banyak orang mengalami artikulasi agama, sehingga melahirkan ekspresi yang keras dan mengarah konflik di akar rumput,” ungkapnya.
Pada sila kedua, adanya pengaruh globalisasi yang makin intens, dapat menjadikan wilayah zona konflik. “Pengaruh dan berbagai kompetisi persaingan ideologi global, serta jaringan terorisme bisa merembes, menjadi sel diam di desa-desa,” ujarnya.
Sila ketiga, Indonesia yang multicultural, mestinya terbiasa mengembangkan sikap hidup merekatkan persatuan, namun seringkali berkembang sikap monocultural, yang lebih mengedepankan sesama kubu saja, suku saja, dan aliran agama tertentu saja. “Seharusnya, desa dapat menjadi zona yang relatif aman dan tentram, namun penetrasi pengaruh global dapat membuat robekan sosial terjadi,” jelasnya.
Pada sila keempat, globalisasi dapat melahirkan polarisasi masyarakat. “Elitnya sudah berangkulan, tetapi sisa pembenturan masih merembes di desa, ternyata pada pemilu, dapat melahirkan peristiwa perceraian akar rumput, yang dipicu konflik politik,” ujarnya.
Efek globalisasi pada sila kelima, karena kesenjangan sosial, ketidakmerataan pembangunan, dapat melahirkan prasangka, berbagai bentuk kekerasan dan protes serta kecemburuan sosial.
Indonesia yang majemuk, dengan pengaruh globalisasi, setiap sila Pancasila mengalami tantangan hebat, dimana kalau itu terjadi, tentu implikasinya langsung pada usaha ketertiban dan keamanan masyarakat. “Maka usaha melakukan pemolisian masyarakat menjadi sangat semakin akut,” ujarnya.
Berbicara polisi, berasal dari politie, muncul kata politik, jadi politik dan polisi satu akar kata polite, yakni usaha untuk menegakkan kehidupan publik yang beradab, damai dan tentram. “Bukan jalur kekerasan, tetapi melalui jalur musyawarah dan beradab,” ungkapnya.
Maka, jika robekan sosial tadi merembes ke desa, akan menjadi suatu usaha yang rumit, maka yang harus dilakukan adalah membuat titik temu, common ground.
Sistem kompleks harus mencari titik temu dan titik tuju. Caranya, pertama adalah memperluas jaringan konektivitas, persambungan, silaturrahim, gotong-royong.
“Manusia meskipun mahluk sosial, cederung mengarahkan pergaulan yang memiliki kesamaan, mulai dari warna kulit, identitas keagamaan, kesukuan. Tapi kalau itu terjadi akan bahaya mengingat kemajemukan Indoensia, orang bergaul akan pilih-pilih, dan Indonesia dapat menjadi zona konflik,” ujarnya.
Indonesia dalam sistem majemuk, akan begitu banyak prasangka, maka bagaimana caranya yang asing, lama-lama menjadi dekat. Caranya harus didekatkan, kenapa bahasa Indoensia tak kenal maka tak cinta, dalam agama membangun silaturrahim penting, membangun konektivitas, jaringan keagamaan itu mempunyai fungsi integrator factor.
Ia menilai, LDII memiliki semangat inklusif, bisa membangun konektivitas, menjadi jembatan katalis pertemuan orang yang beda suku, adat, dapat terkoneksi satu sama lain, sekaligus membangun kerangka kerjasama dengan berbagai elemen, sehingga dapat menjadi damai dan harmoni.
Kedua, kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, ketertiban, keamanan, kesejahteraan, permodalan, itu penting. “Seringkali robekan sosial terjadi karena eksklusivitas, dimana apabila akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan dikuasai oleh golongan tertentu, akan membuat kecemburuan,” ujarnya.
Sehingga, harus membangun pilar. LDII adalah ormas yang punya sensitivitas membangun kerangka inklusi ekonomi, persangkaan dapat dikurangi, sehingga kesehatan, pendidikan, pekerjaan, permodalan, tidak terakses menumpuk pada golongan tertentu saja.
“Dengan memperluas jaringan pergaulan, akan muncul trust, saling percaya satu sama lain, sehingga bentrokan aksi kriminalitas dapat diredakan,” jelasnya.
Lantas, strategi untuk kerangka kerja polisi masyarakat di akar rumput adalah dengan konektivitas dan inklusivitas. “Membudayakan Pancasila pada akar rumput, sekaligus menjadi kerangka kerja polisi masyarakat,” ungkapnya.
Cara bekerjanya, Pancasila mencakup tiga aspek, yakni tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Pada aspek tata nilai, ia menjelaskan pembudayaan Pancasila di tingkat desa, adalah dengan membangun nilai budaya yang inklusif, artinya bukan berarti semua orang harus menganut agama atau aliran yang sama, tetapi apapun dengan segala perbedaannya, ada share value. “Nilai yang disepakati bersama, menjadi satu kultur budaya, orang yang berbeda bisa bekerjasama,” ungkapnya.
Tata nilai Pancasila harus dirajut kuat, komunitas agama seperti LDII memiliki kemampuan mengembangkan peran komunitas dalam membangun nilai. “Nilai harus dibangun sejak kecil, dikembangkan 24 jam, tidak boleh tidur, semuanya dirembesi nilai. Karena negara tidak bisa masuk ke ranah privat,” katanya.
Selanjutnya, pada tata kelola Pancasila, mengambil peran kerjasama antara komunitas dan pasar, tetapi tanggung jawab utamanya adalah negara. “Peran utamanya adalah aparatur negara, melibatkan peran komunitas dan pasar, dengan melibatkan tata sejahtera. Melalui mengurangi prasangka, kecemburuan sosial, peran utamanya adalah negara dan pasar. Tidak ada negara yang sejahtera, kalau usahanya tidak berkembang,” ujarnya.
Ia mendorong, bagaimana jaringan seperti LDII, dapat menjadi kaki dalam usaha pengembangan kemakmuran di tingkat desa.
Kesejahteraan memiliki dua dimensi, pertama adalah tidak boleh ada kesenjangan terlalu lebar. “Tidak boleh, privilege, kehormatan sosial, jaringan desa, pemimpinnya dari keluarga itu saja, tetapi harus dibagikan dengan merata,” ungkapnya.
Dimensi kedua adalah kemakmuran, dengan mengelola potensi sumber daya lokal melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. “Sehingga memberikan dampak ruang aktivitas ekonomi lebih lebar, sehingga warga desa bisa sejahtera bersama, tidak boleh dikuasai segelintir orang,” ungkapnya.
Sehingga diharapkan, melalui pengoptimalan peran dari masyarakat, mulai dari akar rumput, serta pembudayaan Pancasila dalam prinsip polisi masyarakat, dapat merawat harmoni masyarakat sehingga tercipta keamanan dan ketertiban (FF/Lines).
The post Yudi Latif Ungkap Strategi Merawat Harmoni Masyarakat Pedesaan appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/yudi-latif-ungkap-strategi-merawat-harmoni-masyarakat-pedesaan/