Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Bagi jiwa-jiwa jernih, pasti mengamini Allah itu Maha Adil. Walau kadang keadilan itu tidak kasat mata. Bahkan perlu waktu panjang untuk mengungkap dan memahaminya. Terlebih lagi menerimanya. KeadilanNya tak pernah surut.
Kisah Nabi Musa bisa jadi jalan penenerang. Ketika itu, ia bermunajat di bukit Sinai dan berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah keadilanMu kepadaku!” Menjawab itu, Allah berfirman, “Jika Aku menampakkan keadilanKu kepadamu, engkau tidak akan sabar dan tergesa-gesa menyalahkanKu.” Musa menjawab, “Dengan taufikMu, aku akan bersabar menerima dan menyaksikan keadilanMu.” Lalu Allah mengabulkan permintaan Musa, “Pergilah engkau ke sebuah mata air. Bersembunyilah engkau di dekatnya dan saksikan apa yang akan terjadi!” Musa segera menuju mata air dimaksud dan bersembunyi di tempat yang terlindung dan aman dari pandangan seandainya ada seseorang mengambil air di sumber mata air tersebut. Tak berselang lama, datanglah seorang penunggang kuda. Ia turun dari kudanya, meletakkan kantong di pinggir mata air, kemudian mengambil air dan meminumnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi, dan lupa membawa uang yang disimpannya.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang anak kecil untuk mengambil air. Ia melihat sekantong uang di tempat itu, hatinya girang, lalu mengambilnya dan langsung pergi. Setelah anak itu pergi, datanglah seorang kakek buta. Ia mengambil air untuk minum, berwudhu dan sholat. Setelah si kakek selesai sholat, datanglah penunggang kuda tadi bermaksud mengambil uangnya yang tertinggal. Ia kecewa karena uangnya telah raib dan hanya menemukan kakek buta itu sedang berdiri dan akan segera beranjak pergi. Dengan kasarnya, penunggang kuda berkata, “Wahai kakek tua, kamu pasti mengambil kantongku yang berisi uang!” Tuduhan itu mengalir dengan enteng seakan memang kakek tua tersebut yang mengambilnya. Kakek tua itu tersentak dan kaget bukan kepalang. Ia berkata, “Bagaimana saya dapat mengambil kantong Anda, sementara mata saya tidak dapat melihat?” Ketegangan terjadi. Penunggang kuda berkata sambil menuding dan membentak, “Kamu jangan berdusta. Tidak ada orang lain di sini selain dirimu.” Setelah bersitegang, akhirnya penunggang kuda kehilangan kesabarannya. Kakek buta itu pun dibunuhnya. Kemudian, ia menggeledah baju si kakek, tapi tidak menemukan uang yang dicarinya.
Melihat kejadian tersebut Nabi Musa ingin segera keluar dari persembunyiannya, akan tetapi ia tahan, lalu bertanya kepada Allah, “Ya Allah, hamba sungguh tidak sabar melihat kejadian ini. Namun hamba yakin Engkau Maha Adil. Bagaimana kejadian itu bisa terjadi?” Allah mengutus malaikat Jibril untuk menjelaskan apa yang terjadi. “Wahai Musa, Allah Maha Mengetahui hal-hal gaib yang tidak engkau ketahui. Ketahuilah, anak kecil yang mengambil sekantong itu sebenarnya mengambil haknya sendiri. Dahulu, ayahnya pernah bekerja pada si penunggang kuda, tetapi jerih payahnya tidak dibayar. Jumlah yang harus dibayarkan sama persis dengan yang diambil anak itu. Sementara si kakek buta adalah orang yang membunuh ayah anak kecil itu sebelum ia mengalami kebutaan.”
Demikianlah, Allah menunjukkan keadilannNya kepada Musa. Contoh kecil keadilan Allah terhadap makhluknya. Manusia terkadang sering berburuk sangka kepada Allah. Sering, karena keterbatasannya, manusia tidak mampu membaca keadilan Allah secara tepat. Menganggap Allah tidak adil karena keputusanNya, terasa janggal dan merugikan. Kisah kecil ini semoga membuka ruang hati, bahwa Allah Maha Adil kepada hambaNya, juga kepada semua makhluk ciptaanNya. Menguatkan hal itu, Yang Maha Pengasih menyatakan;
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}
“Bukankah Allah sudah mencukupi hamba-hambaNya?” (QS Az-Zumar:36)
Dengan adil dan cukup inilah, kemudian datang kisah-kisah indah seolah menjelaskan itu semua. Dengan adil dan cukup itulah, bahkan setiap diri bisa menemukan kemewahan dalam hidup, tanpa harus menunggu dan berlama-lama.
Seorang sahabat dengan antusias berbagi kisah bahwa bisa tidur siang adalah sebuah kemewahan baginya. Maklum, kegiatan dan kesibukannya selama ini tidak memungkinkan untuk melakukan hal ini. Bayangkan, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu adalah rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan. Maka, begitu sumringahnya dia ketika kesempatan itu tiba, sekalipun tidur di kamar tidak ber-AC. Badan jadi segar, pikiran pun padang dan suasana begitu menyenangkan.
Ada juga seorang sahabat yang bercerita, bahwa salah satu yang membuat dia bahagia adalah berlama-lama di kamar mandi. Maklum sepanjang hidupnya baru sekarang memiliki rumah dengan kamar mandi sendiri. Maka, bisa mandi berlama-lama, tanpa gangguan; tidak digedor-gedor, tidak ngantri adalah kemewahan tiada terkira. Hasilnya adem jasmaninya dan segar rohani. Kemewahan yang berlimpah, walau dengan kamar mandi yang sederhana. Cukup dengan bak, tanpa shower dan tanpa pemanas.
Berbeda dengan sahabat yang satu ini. Dalam kisah uniknya, ia merasa mewah bisa makan seekor ikan utuh untuk sendiri. Dalam ingatannya, dari dulu selalu kebagian kepala mulu. Tidak pernah badan yang berdaging, apalagi ekor yang panjang. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa sangat mewah bisa makan telur sebutir sendiri. Dalam benaknya, masih terbayang makan 1 telur dibagi lima, karena 5 bersaudara.
Dirangkai jadi satu, ternyata, setiap orang bisa memperoleh kemewahan sesuai dengan tingkatannya masing-masing, menurut situasi dan kondisi yang mengiringi. Apa yang orang lain anggap sederhana, bisa jadi menjadi sesuatu yang mewah bagi yang lain. Begitu juga sebaliknya, mewah bagi seseorang, bisa jadi sederhana bagi yang lain. Itulah keadilan dan kecukupan Allah kepada makhluknya.
Dalam KBBI, mewah diberikan arti serba banyak; serba indah; serba berlebih (biasanya tentang barang dan cara hidup yang menyenangkan). Kemewahan sahabat di atas, setidaknya memenuhi salah satu dari arti tersebut; serba indah. Namun, definisi tetaplah definisi, ia cuma panduan. Ada juga kata-kata bijak yang mendefinisikan mewah dengan bahasa yang rapih dan apik. Namun tetap mewah, dengan barisan kata-kata yang menyentuh dan bergaya fatwa. Untuk sebuah pencerahan.
Ada yang berpendapat; “Di zaman yang penuh gangguan ini, tidak ada yang terasa lebih mewah daripada memperhatikan.” Perhatian dan saling memperhatikan sudah menjadi barang langka. Maka mendapat perhatian atau meluangkan waktu untuk menumpahkan perhatian merupakan sebentuk kemewahan. Fokus, fokus, dan fokus lagi. Tentu dengan yang bermanfaat.
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
”Dan tolong-menolonglah kalian atas kebaikan dan ketakwaan. Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah sangat berat.” (QS Al-Maidah:2)
Bahkan pada sebagian orang tertentu sampai pada kesimpulan; “Puncak kesuksesan adalah kemewahan memberi dirimu waktu untuk melakukan apa yang ingin kamu lakukan.” Karena hidup itu terkait erat dengan waktu, di pojok-pojok pelayanan sering disampaikan; “Kemewahan sejati adalah bisa memiliki waktumu. Untuk bisa jalan-jalan, duduk di teras rumahmu, membaca, tidak menerima telepon, tidak dipaksa oleh kewajiban-kewajiban.” Sekarang banyak orang yang tidak punya waktu, sekali pun untuk dirinya sendiri. Bahkan sampai mengejar dunia untuk orang lain, bukan untuk dunia sendiri. Maka berbahagialah, bagi mereka yang masih memiliki kemewahan berupa waktu luang untuk diri-sendiri. Dalam hal ini, sahabat dekat saya selalu mengingatkan; “Kemewahan bukan tentang membeli barang-barang mahal; ini tentang hidup dengan cara di mana Anda menghargai sesuatu.” Tidak hanya jam saja yang mewah berharga milyaran, secara umum manusia memiliki waktu, tapi sayang banyak yang tidak bisa memanfaatkan kemewahan waktunya itu. Padahal Allah sudah menegaskan;
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Ashr:1-3)
Oleh karena itu, dalam hal kemewahan dan kebahagiaan ini, ada panduan yang lebih sederhana untuk jadi perhatian bersama. Kemewahan itu tidaklah susah. Ia ada dimana-mana dan mudah menemukannya. Tergantung bagaimana setiap diri menyikapinya. Jika hidup penuh syukur, banyak tadabur, sabar bertabur, niscaya menikmati banyak barang mewah dalam hidup ini. Sekalipun rumahnya kecil, mepet sawah. Dan akhirnya kita bisa memperluas cakrawala kita, mengartikan kebahagiaan, yang tak lain adalah kemewahan, dalam hadits berikut ini. Rasulullah SAW bersabda,
أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ اْلمَرْءِ أَنْ تَكُوْنَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً وَأَوْلاَدُهُ أَبْرَارًا وَخُلَطَائُهُ صًالِحِيْنَ وَأَنْ يَكُوْنَ رِزْقُهُ فِى بَلَدِهِ
”Empat macam dari kebahagiaan (kemewahan) manusia, yaitu istri yang salehah, anak yang berbakti, teman-temannya adalah orang-orang yang baik, dan mata pencahariannya berada dalam negaranya sendiri.” (HR Dailami).
Dam semoga semua tersadar bahwa sudah banyak kemewahan yang Allah berikan kepada kita. Karena, hidup itu sendiri sudah mewah.
The post Mewah appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/mewah/