Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Entah siapa yang mengucapkan kalimat indah ini pertama kali, saya belum menemukan sosoknya. Yang jelas sangat bermartabat dan penuh marwah untuk kemajuan pemahaman dan spiritualitas saya. Bunyinya; “Similar to flower which is fragrant, the language of the enlightened so touching, because language is the fragrance of the soul.“ Serupa bunga yang wangi, bahasa makhluk tercerahkan (oleh keimanan) demikian menyentuh (halus, sopan, indah dan dalam) karena bahasa adalah wewangian yang disemprotkan dari kedalaman jiwa. Ini bukan apa-apa, namun sayang untuk dilewatkan sebagai jembatan pemahaman. Apalagi yang lagi gandrung dengan keindahan iman.
Alam memang penuh tanda, walau kadang kita merasa terlambat menyadarinya. Tidak hanya terlambat, bahkan sering kali kita mengabaikannya. Padahal banyak hal yang bisa didapat, seperti pembelajaran nasihat indah dari sebuah bunga di atas. Dan akhirnya, saya punya kebiasaan baru mencium bunga-bunga yang mekar setiap senja menjelang. Baik yang berwarna terang menantang, maupun warna kalem yang diam tenggelam tapi mendamaikan. Dan benar-benar semerbak wangi. Asli bukan produk turunan. Menuntun indah suatu pencerahan dari semerbak pemahaman satu ke pemahaman lain secara sempurna. Dan tentunya dibarengi wangi kesabaran untuk membuka satu per satu pintu rahasia kehidupan. Walau, mungkin saja ada rasa bosan bagi mereka yang sudah mendapatkan pencerahan duluan. Jadi, maafkanlah jika menyampaikan hal yang berulang lagi usang.
Awalnya agak sedikit berat memang, tatkala hati belum tertambat. Puji syukur saya terbantu sekali ketika bersama-sama mengkaji Kalam Allah yang indah berikut ini. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat keuntungan yang besar.” (QS Al-Ahzab: 70–71)
Sudah begitu, diperjelas dan diperkuat dengan kisah mempesona dalam haji mabrur. Nabi ﷺ pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, apa saja ciri-cirinya? Maka beliau ﷺ pun menjawab dengan lugas,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan perkataan/ucapan yang baik.” (HR Al-Baihaqi)
Seakan saling menguatkan dan melengkapi, ada benang merah yang jelas dari pembelajaran kali ini. Laksana harum semerbak bunga, demikianlah seharusnya ketaqwaan dan keimanan yang tertanam dan tumbuh di dalam diri. Ia akan menyebar, mengakar kuat sepanjang arteri-arteri darah sekujur tubuh sembari mengambil nutrisi yang tepat hingga tumbuh subur dan membuahkan sebentuk perilaku dalam bungkus ucapan-ucapan yang baik dan budi pekerti yang luhur. Sampai-sampai puncak rukun Islam, kemabruran haji pun ditandai dengan perkataan dan ucapan yang baik semata. Pertanyaannya kemudian, kenapa masih ada orang yang diberikan keimanan tetapi belum bisa semerbak wangi bak bunga dengan berkata yang baik, enak didengar dan pahit madu? Padahal ia hidup di kalangan yang baik dan terang-benderang di dalam cahaya Tuhan.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.” (QS Al-Baqarah: 269)
Masih dijumpai, jiwa-jiwa yang suka menyakiti hati. Lidahnya liar. Omong sak omong, ndilalah-nya yang keluar selalu menyakitkan. Entah sengaja atau tidak, yang jelas menguji kesabaran dan ketabahan yang dalam bagi yang mendengar. Karena ia adalah tetangga, susah menghindarinya. Masih ditemui, jiwa-jiwa yang sakit dengan berperilaku pelit. Walau pun harta berlimpah, kenyataan hidupnya teramat hemat. Kalau pun mau berbagi, cuma sedikit tapi bumbu ceramahnya amit-amit bisa sampai tujuh bukit. Yang datang pun akhirnya bosan. Keduanya berharap berhenti. Sang pemberi berharap tak ada lagi pengeluaran, sang penerima berharap kapan segera pergi membawa pemberiannya dan selesai mendengarkan wejangannya. Tidak sabar menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Sebab bagaimana pun, ia adalah kawan seperjuangan. Tetap diramut, dijaga dan dibina. Tak elok ditinggalkan.
Terkait hal ini, ada kisah simbolik yang penuh hikmah mendalam. Yaitu tatkala Luqman Al Hakim diperintahkan oleh tuannya menyembelih seekor kambing. Sang tuan meminta Luqman untuk memberikan bagian yang paling kotor dan paling buruk dari tubuh kambing tersebut. Setelah disembelih, Luqman mengulitinya, dan mengiris setiap bagian kambing sesuai dengan kebutuhan. Lalu, Luqman pun mengambil bagian lidah dan hati kambing sebagai bagian yang paling buruk dan paling kotor menurutnya. Kemudian, sang tuan memberikannya lagi seekor kambing untuk disembelih. Kali ini, Luqman diminta untuk memberikan bagian yang paling bagus, baik dan menyehatkan dari tubuh kambing. Seperti sebelumnya, Luqman pun menyembelih kambing, mengulitinya serta membaginya sesuai kebutuhan. Ia mengambil bagian lidah dan hati kambing tersebut sebagai bagian yang paling baik dan menyehatkan. Tuannya pun kaget karena Luqman memberikan hal yang sama pada dua permintaan yang berbeda. Luqman menjawab, “Wahai tuanku, tidak ada yang lebih buruk dari lidah dan hati bila keduanya buruk, begitu juga tidak ada yang lebih bagus dari lidah dan hati bila keduanya bagus.”
Berikutnya, bukti indah hasil eksperimen Prof. Masaru dari Jepang yang melibatkan pemaparan gelas berisi air ke berbagai kata, gambar atau musik. Kemudian air dibekukan dan diperiksa kristal bekunya di bawah mikroskop. Ia menyimpulkan bahwa kata-kata dan emosi positif, musik klasik yang damai dan doa positif yang diarahkan ke air menghasilkan kristal yang indah. Sedangkan kata-kata dan emosi negatif serta musik kasar, seperti heavy metal, menghasilkan kristal yang jelek. Perbuatan baik, perkataan baik mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kala kita berubah, lingkungan pun berubah.
Tersadar dengan realita kehidupan yang seperti inilah, jiwa seorang sahabat bergetar hebat demi tercerahkan dengan maksud Allah dan Utusannya dari dalil-dalil di atas. Kenapa orang iman diharuskan selalu menjaga omongan dan selalu berusaha untuk omong yang baik dan benar saja? Karena kebenaran dan kebaikan adalah nutrisi jiwa. Kebutuhan jiwa untuk menumbuhkan benih – benih keimanan dan ketakwaan di dalam hati sana. Asupan untuk memupuk benih itu hingga subur, berkembang dan berbuah, sehingga mendamaikan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam semesta. Namun jika yang diambil adalah nutrisi jiwa yang salah, padahal lingkungannya baik, akibatnya seperti tetangga dan kawan yang satu di atas.
Ketika harus mengambil menu diam mendengarkan, malah memilih menu ngobrol dan bercengkerama seenaknya. Tatkala harus memakan menu duduk mengagungkan, malah berpaling ke menu meremehkan lagi menyisihkannya. Seharusnya bisa mengambil menu tawadhu penuh syukur, justru memelihara menu ujub dan keangkuhan. Dan doa-doanya mengambil menu untuk diri sendiri, melupakan jiwa-jiwa indah yang lain. Saat disajikan menu berkata baik atau diam, dia tidak mengambilnya. Akibatnya, jiwanya kurang nutrisi, keimanan tidak berkembang dan menghantarkannya menjadi pesakitan. Kandidat taqwa pun jauh dari jangkauan kalbu. Karenanya, Allah tidak berkehendak menghiasi orang itu dengan amal-amal yang baik dalam keseharian. Mengganti amalan yang tidak baik, menjadi amal baik adalah bukti pengambilan nutrisi yang tepat dari menu yang ada. Selama malnutrisi, akibatnya akan malpraktik. Bahkan mungkin berujung kematian keimanan.
Dalam jiwa yang sudah bergizi cukup, kehidupan memang menunjukkan wajah yang berbeda. Hayyatan thayyibah. Di sana-sini dipenuhi dengan warna-warni kedamaian dan keikhlasan penuh darma (sakdermo). Dalam keimanan dan ketakwaan yang tumbuh berkembang, kehidupan adalah sarana beramal shalih; menebar kebaikan, menyemai kebajikan, beramar ma’ruf nahi mungkar. Kerja sebagai contoh, bagi jiwa yang kekurangan gizi adalah serangkaian keterpaksaan yang membosankan. Hasilnya mengeluh, protes dan tidak pernah puas adanya. Sebagian orang bahkan dibikin sakit dan berpenyakit oleh kerja. Stres, depresi, workaholic dan sebagainya. Bagi jiwa yang bergizi cukup kerja adalah ibadah, menggapai rahmat Allah. Kerja adalah amanah, mengikuti hukum-hukum Sang Maha Pencipta. Hasilnya kerja tulus, tekun, dan ikhlas. Petani mengolah lahan (Tuhan) menjadi buah-buahan (Tuhan). Pedagang menyalurkan buah (Tuhan) ke konsumen (Tuhan) dan seterusnya.
Demikian juga dengan bertetangga. Bagi jiwa yang bergizi cukup, bertetangga selalu dalam koridor saling menjaga dan menghormati. Menghormati tetangga adalah bukti iman kepada Allah dan hari akhir. Tak mau menyakiti dan disakiti. Bagi yang kekurangan gizi, menganggap tetangga sebagai asupan gizi yang harus di”makan” untuk memenuhi kekurangannya. Dalam hal memberi pun serupa. Bagi jiwa yang bergizi cukup, memberi adalah kegembiraan. Berbagi adalah keceriaan. Jika tidak bisa dengan materi, cukup dengan ucapan-ucapan indah menyenangkan, atau kata maaf diakhiri senyum tipis yang menawan. Namun bagi jiwa yang kurang gizi, memberi adalah keterpaksaan dan siksaan, yang tak pernah berakhir walau sudah digawangi kata-kata kasar. Ada dan ada lagi, sehingga menjadikan hitamnya hati.
Kembali pada pembahasan awal, makhluk yang tercerahkan, tidak saja nutrisi jiwanya terpenuhi, sehingga jiwanya penuh dengan keimanan, tingkah laku dan ucapannya pun mencerminkan keimanan itu dalam hal-hal yang nyata. Dengan kalimat lain, Sang Guru Bijak sering mengingatkan; tidak saja iman dan takwa menjadi nyanyian jiwa, bahasa juga bagian dari nyanyian jiwa. Sejuk, damai dan mengalir lepas dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja. Kala keimanan sudah lahir dan batin.
The post Nutrisi Jiwa appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/nutrisi-jiwa/