Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Terjaga dan Kaya

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 02 Februari 2022, 05:34:00

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Penjelajahan singkat saya dalam perjalanan kehidupan ini, ternyata menghasilkan sejumlah fakta yang menarik untuk diperhatikan. Secara mendalam, saya menjumpai ada orang kaya lengkap dengan reputasinya, tetapi memiliki putera-puteri yang bermata kosong-melompong. Tanda kehidupan yang kering, jauh dari keceriaan. Ada juga saya temui, seorang pengusaha yang menatap semua orang baru dengan tatapan tajam penuh curiga. Karena seringnya ditipu sana-sini. Sedikit-sedikit naik darah, plus caci – maki menggema. Ada pula yang berganti mobil mewah dalam ukuran bulan, namun harus meminum pil tidur setiap hari hanya untuk melepas penat. Di tempat lain, ada yang memiliki anak dalam berumah tangga tetapi tanpa ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut padanya. Allah berfirman:

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” [QS Al-Fajr:20]

Banyak cerita, bagaimana orang merasa terganggu tidurnya di hari pertama ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi. Demikian juga ketika baru promosi, duduk di kursi yang lebih tinggi atau menjadi orang nomer satu di perusahaan. Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat banyak orang hampir jadi paranoid. Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya, kekayaan baik kedudukan maupun materi, memang menghadirkan kegembiraan, kemewahan dan kebanggaan (kendati hanya sesaat). Namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa dan dirampas habis oleh yang kita sebut kekayaan tadi. Ingatlah selalu nasihat ini. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

يَـقُوْلُ ابْنُ آدَمَ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ، وَهَلْ لَـكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

“Anak Adam berkata, ‘Hartaku! Hartaku!’ Tidaklah harta yang engkau miliki melainkan apa yang telah engkau makan lalu habis, atau apa yang engkau kenakan lalu usang, atau apa yang engkau sedekahkan lalu engkau teruskan.” [HR Muslim]

Dalam kegundahan dan kegaduhan seperti ini, ada kata – kata bijak yang menyentuh hati sanubari. Seolah membimbing dan selalu mengiringi diri ini untuk menjadi inspirasi. Bunyinya: “If we have too many things we don’t truly need or want, our live become overly complicated.” Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks. Contoh-contoh di atas dengan jelas menguatkannya. Di kehidupan pribadi pun, saya merasakan kebenaran wejangan di atas. Banyak hal kita miliki di rumah kehidupan ini, padahal sebenarnya tidak benar-benar kita butuhkan. Atau dibutuhkan tapi hanya sesaat saja. Namun sudah menyita waktu, tenaga dan pikiran dalam mewujudkannya dan juga kebergantungan setelahnya.

Menjadi semakin jelas sekarang, bahwa selain merampok hal-hal di atas, kekayaan juga menghasilkan harapan-harapan baru yang terus bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Tanpa henti. Orang sering menyebutnya tamak, ada juga yang menyebutnya rakus. Di tempat lain ada yang menyebutnya dengan bahasa lebih tegas lagi; serakah. Apa saja, itulah dinamikanya. Hal ini persis seperti yang ditakutkan oleh sosok terbaik di dunia ini.
عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ، عَلَى الْمِنْبَرِ بِمَكَّةَ فِي خُطْبَتِهِ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ ‏ “‏ لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا، وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ ‏”

Dari Ibnu ‘Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Ibnu Az Zubair berkata di Makkah di atas mimbar saat khutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda: “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari).

Demikianlah, tanpa disadari kekayaan dengan amat rajin dan disiplin mendorong manusia untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya. Apalagi kalau harapan itu bisa mendorong orang bekerja benar dan keras, plus keikhlasan untuk bersyukur pada Sang Maha Hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi, harapan ini terbang dan berlari liar. Dalam hening waktu dan nasihat bisu, sering disampaikan kisah Tsa’labah. Niatnya mencari harta untuk ibadah. Menjadi kaya yang berkah untuk sekelilingnya. Semua tinggal kenangan. Dan kemudian membuat kehidupan berlari seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ mengingatkan dengan perumpamaan serigala. Bukan lagi kucing.

عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

Dari Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.” (HR At-Tirmidzi)

Karena keyakinan seperti inilah, sebenderang teladan-teladan indah, maka dalam keseharian saya senantiasa memohon agar seluruh kehidupan saya diiringi dengan keikhlasan, keikhlasan dan hanya keikhlasan. Bekerja dengan tekun. Berusaha dengan sabar. Jujur. Amanah. Kompak. Bekerja sama yang baik. Ada yang berbuat jelek, dimaafkan. Kalau ada yang berbuat baik, disyukuri. Tidak ‘ngoyo’. Banyak nrimo. Keporo ngalah, rebutan ngalah. Dan mensyukuri setiap apa yang didapatkan. Ada sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu sederhana, rendahan, miskin variasi, kurang menantang dan menumpulkan keberanian. Namun saya meyakini, dengan cara ini kita pun bisa jadi kaya. Yaitu kaya yang penuh harap, kaya hati, kaya dengan jalan sederhana. Bayangan dulu, ketika saya diajak berkunjung ke Pakdhe angkat Bapak, kemudian menyaksikan ada rumah indah dan besar, mobil berjajar di parkiran yang luas lengkap dengan penggilingan padinya, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi menikmati keindahan rumahnya, semakin memudar. Wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi bayangan dulu. Berganti dengan model indah, sederhana di dunia, kaya nanti di surga. Atau tidak bersedih jika tidak bisa mewujudkannya di sini, insya Allah pasti kita siapkan di sana nanti.

Dengan model dan jalan seperti ini, saya pikir tak ada salahnya untuk dicoba dan disiasati. Obsesi menjadi kaya di setiap kepala tetap ada dan terjaga, tidak mati layu dan merana. Namun ada yang lain di sini, yaitu hadirnya sikap kehati-hatian, tumbuhnya perspektif baru yang mengutamakan kehidupan abadi nanti dan energi yang konstruktif dalam menyikapi guncangan godaan kaya ini. Dengan kata lain menjadi kaya yang barokah. Menyikapi dunia dengan perwiranya. Mengelola kekayaan sebaik-baiknya, sehingga benar-benar menjadi orang yang terjaga. Bermartabat dan dihormati di kalangan manusia. Diridhoi dan mulia di mata Yang Kuasa. Persis seperti doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ dalam meniti kehidupan ini, yaitu mendapat hidayah dulu, berkalung taqwa kemudian, baru memiliki sifat terjaga dan kemudian lahirlah kaya yang dibarokahi. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Sesungguhnya Nabi ﷺ biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina – Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu hidayah, taqwa, terjaga dan kaya.” (HR. Muslim)

Seolah menguatkan langkah kaki ini, ada kegembiraan kecil sebagai benchmark yang selalu mengiringi dan melengkapi. Menenteramkan, lagi mendamaikan. Apalagi kalau bukan teladan-teladan indah dari para salafush-shalih. Kali ini dari para tabiin dan sahabat mulia yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ يَقُولُ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ : أَلَسْنَا مِنْ فُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ ؟ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ : أَلَكَ امْرَأَةٌ تَأْوِي إِلَيْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : أَلَكَ مَسْكَنٌ تَسْكُنُهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : فَأَنْتَ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ. قَالَ : فَإِنَّ لِي خَادِمًا. قَالَ : فَأَنْتَ مِنَ الْمُلُوكِ. * رواه مسلم

Abu Hani mendengar pada Abu Abdirrahman al-Hubuli, dia mengatakan, aku pernah mendengar Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan dia ditanya oleh seseorang, orang itu mengatakan, “Bukankah aku termasuk salah satu fakir Muhajirin?” Abdullah balik menanyainya, “Apakah kamu mempunyai seorang istri tempat engkau kembali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki rumah yang bisa engkau tinggali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah lalu mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk orang kaya.” Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku memiliki seorang pembantu.” Abdullah mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk raja.” (Rowahu Muslim).

Cukup sederhana bukan, untuk menjadi kaya dan raja dunia? Menelisik hadits di atas, bukan bermaksud untuk membasmi obsesi, namun untuk menumbuhkan cita rasa syukur, sebagai pilihan yang tersedia untuk menjadi kaya. Dunia bukan lagi menjadi kiblat utamanya. Ada yang lebih utama dari itu semua, dan kita semua sedang di dalamnya. Tinggal memperkaya hati ini, tempat kekayaan sebenarnya bersemayam. Dan harapannya benar-benar menjadi orang yang terjaga dan kaya, tidak terperdaya. Baik di dunia dan di alam sana.

The post Terjaga dan Kaya appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/terjaga-dan-kaya/

built with : https://erahajj.co.id