Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Seolah dapat durian runtuh, teman sebaya berbagi cerita. Entah bermaksud menyindir atau sekedar berbagi, tidak saya tanya. Biarlah jadi misteri diantara kami berdua. Pokoknya EGP. Yang jelas saya menikmati kirimannya. Setelah mencari-cari sumbernya, ternyata ada di Kitab Thibbun Nabawi kepunyaan Abu Nu’aim Al-Asfahani.
Waktu itu, Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu pernah bertemu seseorang di jalan, dan bertanya kepadanya; “Kenapa perutmu besar seperti ini?”
“Ini karunia dari Allah,” jawab orang tersebut.
“Itu bukan berkah, tapi azab dari Allah!” seru Umar.
Di sesi lain, terkait hal ini, Umar memberikan “ular-ular” kepada yang lainnya untuk jadi bahan perhatian.
قال عُمَر بن الخطاب: إياكم والبطنة في الطعام والشراب فإنها مفسدة للجسد مورثة للسقم مكسلة، عَن الصلاة وعليكم بالقصد فيها فإنه أصلح للجسد وأبعد من السرف وإن الله تعالى ليبغض الحبر السمين وإن الرجل لن يهلك حتى يؤثر شهوته على دينه. الطب النبوي لأبي نعيم الأصفهاني
Umar pun berkata: “Takutlah kalian dengan kegemukan karena makan dan minuman. Karena sesungguhnya ia merusak organ tubuh, mewariskan banyak penyakit dan membuat kalian malas menunaikan shalat. Makanlah kalian secukupnya dengan begitu akan membuat tubuh sehat, jauh dari sifat berlebih-lebihan dan sesungguhnya Allah Yang Maha Luhur niscaya benci terhadap berlipat-lipatnya lemak (kegemukan). Sesungguhnya tidak akan kalah/rusak seseorang sehingga dia memilih hawa nafsunya mengalahkan agamanya.” (Thibbun Nabawi – Abi Nuaim Al-Asfahani)
Memang tidak seenak durian runtuh, apalagi legitnya varitas musang king. Kiriman nasihat di atas tentu lebih nikmat dari itu. Walau begitu menohok. Tidak hanya hati dan pikiran, tetapi juga menohok badan dan perasaan. Tapi namanya nasihat, harus begitu. Bukan yang normatif dan landai-landai saja. Perlu yang bergejolak. Tanpa tedeng aling-aling. Ada kalanya perlu tamparan dan hantaman yang keras. Karena maksudnya tentu menghendaki kebaikan dengan melahirkan perubahan pada penerimanya. Ditambah momentum pergantian tahun. Pas sudah. Begitu juga dengan saya. Tidak ada rasa marah, tidak ada rasa getir dan dendam untuk membalas, yang ada semangat syukur dan paseduluran, masih ada yang peduli mengingatkan dan berbagi. Terutama dalam hal merawat diri, mengurus badan dan kesehatan. Untuk beribadah.
Orientasi pun langsung beralih ke mode mawas diri. Tombol berat badan, ukuran pinggang menjadi perhatian. Panel tekanan darah, tut gerak badan terus dikontrol. Sebenarnya secara keseluruhan hasil MCU tahunan masih oke punya, tak ada keluhan berarti. Hanya kolesterol yang perlu dikontrol dengan baik dibarengi olah raga yang cukup. Pola dan menu makan yang perlu dirubah sebagai antisipasi kandungan darah dan kontrol berat badan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa sampai usia kepala lima masih dijajah nafsu makan yang berlebih. Buktinya, BB (berat badan) yang terus meningkat dan nafsu makan yang tiada matinya melihat gelimpah makanan, apalagi kalau itu gratis. Apalagi dengan adanya PPKM, dan diterapkan WFH (Work From Home), maka oleh para creator PPKM yang tadinya singkatan dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, diplesetkan menjadi Paha dan Pipi Kian Melebar (PPKM). Dan itulah keluhan yang banyak dirasakan. Mendekati kebenaran.
Seiring berjalannya waktu, bertambah juga tabungan badan. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Seolah juga mau mengingatkan, lihatlah perut yang terus membuncit, badan yang melar dan nafsu yang terumbar. Timbullah niatan dan kesadaran. Semakin hari semakin menguat dalam tekad yang bulat menuju gerakan menyayangi diri. Menyuguhkan yang dibutuhkan dan memberikan seperlunya untuk memenuhi hak-hak diri. Tak berlebih. Tak kurang. Sebab dibalik itu semua telah menunggu saatnya beribadah dengan paripurna. Usia sudah berapa, tinggal berapa. Apalagi kalau mengingat wasiat Rasulullah SAW yang satu ini.
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ، قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “ مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاَتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ ”
Dari Miqdam bin Ma’dikarib ra. menyatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda; “Tiada memenuhi anak Adam suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah untuk anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada cara lain, maka sepertiga (dari perutnya) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk bernafas.” (HR At-Tirmidzi)
Jelas. Walau bukan larangan, tetapi sudah termasuk kategori buruk, jika tidak bisa mengikuti anjuran di atas. Sejujurnya saya belum mampu mengikuti ajaran mulia di atas. Kadang sudah bersendawa, tanda 1/3 udara di perut sudah setara, masih saja terus nambah dan nambah. Susah menghentikannya. Dikit lagi ah, dikit lagi ahh, itu perasaan yang menggoda. Apalagi yang dulunya mengalami masa susah. Masak, makan dibatas-batasi? Dulu, makanan tersedia tapi buat belinya gak ada. Lupa umur. Sekarang, duit ada tinggal pilih makan apa dan dimana. Tapi jangan kebablasan. Dan akibatnya, tidak lagi tegak tulang punggung ini sehabis makan. Yang ada justru kepenuhan dan susah bergerak karena kekenyangan. Dan suka sembelit, sebagai tanda kurang minum, kebanyakan makanan. Walau jenis makanan yang dimakan halal adanya, tapi berhati-hatilah ketika batas proporsional tidak lagi diindahkan. Allah berfirman;
{يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31) }
“Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Ala’raaf: 31).
Dikisahkan, suatu ketika Nabi Yahya pernah berjumpa iblis yang sedang membawa pancing. Dengan penuh keheranan bertanyalah Nabi Yahya, ”Untuk apa alat pancing itu?”
”Inilah syahwat untuk mengail anak Adam,” jawab iblis.
”Adakah padaku yang dapat kau kail?” Tanya Nabi yahya penasaran.
Iblis menjawab, ”Tidak ada, hanya pernah terjadi pada suatu malam engkau makan agak kenyang hingga kami dapat menggaet engkau sehingga berat untuk mengerjakan shalat.”
Nabi Yahya terkejut, lalu berkata; ”Kalau begitu aku tak akan mau kekenyangan lagi seumur hidupku.”
Dirangkum jadi satu, makan dan minum berlebihan akan mengakibatkan kekenyangan, sehingga tubuh menjadi malas bergerak dan dalam jangka panjang akan timbul akibat terhadap badan seperti kegemukan dan datangnya berbagai penyakit. Untuk itu pola makan dan minum perlu diatur agar badan tetap sehat, bergairah dan menjumpai manisnya iman dalam beribadah. Hindari kekenyangan sebisa mungkin, makan dan minumlah secukupnya.
Imam Ghazali dalam Al-Ihya, mengutip ucapan Abu Bakar Shiddiq ra dalam hal ini, ”Sejak aku memeluk Islam, belum pernah aku mengenyangkan perutku karena ingin dapat merasakan manisnya beribadah, dan belum pernah aku kenyang minum karena sangat rindunya aku pada Ilahi.” Makan sampai kenyang memang diperbolehkan. Hukum asalnya boleh, namun jika keseringan dan akibatnya memudharatkan, maka akan jatuh kepada israf atau berlebih-lebihan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِنْ السَّرف أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشْتَهَيْتَ
Dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya termasuk sikap berlebih-lebihan ialah bila engkau memakan segala makanan yang engkau sukai.” (HR Abu Ya’la)
Jelaslah bagi kita sekarang, mengapa atsar-atsar membenci tindakan berlebih-lebihan, termasuk dalam hal makan dan minum sehingga kekenyangan. Di samping dari sisi kesehatan akibat banyak makan bisa menimbulkan berbagai penyakit, banyak makan juga memberatkan pula seseorang untuk beribadah. Lengkap sudah. Apalagi di jaman sekarang ini, makan sudah menjadi bagian dari gaya hidup, kesenangan serta gengsi. Walau banyak di sisi bumi lain orang yang kesulitan makan, di belahan lain kita mendapati sekumpulan orang yang susah menjumpai rasa lapar. Bahkan, banyak di antara kita yang tidak mengenal lagi bagaimana indahnya rasa lapar.
The post Buncit appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/buncit/