Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menyembuhkan Kemarahan

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 09 November 2021, 07:49:32

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Ini peringatan buat semua. Tidak hanya bagi mereka yang suka marah. Justru sangat bermanfaat bagi mereka yang merasa tidak punya urat marah. Apalagi yang merasa baik-baik saja. Sebab semua orang diberi hati dan emosi. Ada kalanya, yang namanya emosi suatu saat bisa tidak terkendali, hingga bisa meledak dan membuat sakit hati. Dan lama untuk bisa kembali normal lagi.

وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran 133 – 134)

Untuk memahami ayat di atas, izinkan kami berbagi kisah singkat berikut ini. Semoga menjadi bahan pencerahan, pengetuk kesadaran dan penggugah pemikiran. Sebagai tuntunan indah, jalan perbaikan. Suatu hari, seorang pendayung perahu mengayuh santai ke arah hulu. Tiba-tiba ia terkejut melihat ada perahu meluncur deras sekali dari arah hulu persis ke arah dirinya. Tentu saja ia berteriak sebagai tanda peringatan; “Awas!”. Tapi, tabrakan pun tidak bisa dihindarkan. Semua sudah terlambat. Yang terjadi, terjadilah. Melihat dirinya nyaris mati, perahunya retak, maka marahlah dia sepuas-puasnya dengat kata-kata sekenanya, sampai-sampa penghuni kebun binatang pun keluar semua. Setelah lelah marah, dan padam api emosinya, ia mencoba melihat wajah manusia yang ceroboh tadi. Ternyata, tidak ada orang dalam perahu tadi. Zonk.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari sini? Ya, sebuah pelajaran singkat sarat makna, betapa cepatnya manusia marah. Bahkan ketika informasi belum jelas, kemarahan sudah menghadang. Sumbu pendek, orang bilang. Dalam banyak situasi dan kesempatan, kadang keputusan pun ditetapkan. Padahal dalam kondisi marah-marah. Ujungnya, kedamaian terbang entah ke mana. Oleh karena itulah, di setiap pojok pelayanan, majelis-majelis ilmu, banyak guru dan leluhur mengajarkan pentingnya melangkah indah penuh kedamaian. Tanpa suguhan marah, dalam segala tingkah. Di sinilah peran bagi yang sudah bisa mengelola marah untuk bisa membantu mereka yang belum berhasil menguasai amarah.

Cerita kedua. Suatu hari, ada seorang Ibu di Vietnam yang khusyuk sekali berdoa dengan melafalkan nama Buddha Amitaba. Di tengah khusyuknya doa, tiba-tiba tetangganya, karena keperluan yang mendesak, memanggil nama Ibu ini. Tak lain, bermaksud minta bantuan dan pertolongan. Tak disangka, si Ibu langsung marah karena doanya terganggu. Ibu ini kemudian membentak tetangganya. Kontan saja tetangganya tertawa sambil bergumam; “Astaga, saya memanggil nama Ibu hanya tiga kali, Ibu sudah marah. Tidak kebayang, betapa marahnya Buddha Amitaba karena namanya Ibu panggil ribuan kali”.

Yang mau tertawa dipersilakan, karena mengandung kelucuan selayang pandang. Namun lihatlah sisi sebaliknya. Secara sederhana ingin menyampaikan pesan bahwa di dunia spiritual pun manusia penuh diliputi kemarahan. Merasa terganggu doanya, marah. Merasa terhalangi ritualnya, marah. Merasa tercurangi amal ibadahnya marah. Dan kita bisa melihat banyak kasus serupa cerita di atas dalam kehidupan ini. Hal yang tadinya hanya biasa dan sederhana, jadi rumit dan pelik. Karena keburu marah dan tidak sabar mencari info yang sebenarnya. Dan kembali ke akar terdalam kemarahan, sejauh ada rasa yang terganggu dan kurang di dalam, sejauh itu juga kemarahan akan tetap menggoda.

Di dalam Kitab yang mulia, Allah juga berkenan memberikan contoh marah yang jelas. Walau kata marah diperkenankan, tapi perhatikanlah bagaimana akibat yang ditimbulkan. Allah berfirman;

فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ يَا قَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدْتُمْ أَنْ يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُمْ مَوْعِدِي

“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa, “Hai kaumku, bukankah Tuhan kalian telah menjanjikan kepada kalian suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagi kalian atau kalian menghendaki agar kemurkaan dari Tuhan kalian menimpa kalian, dan kalian melanggar perjanjian kalian dengan aku?” (QS Thaha:86)

Di ayat lain diterangkan akibat kemarahan Musa; Taurat dibanting, Harun kena jambak dan energi marah waktu itu membuat Bani Israil ketakutan, mati kutu, termasuk Samiri yang terusir dan hina-dina. Kesadaran yang datang kemudian tidak mengembalikan situasi sebagaimana adanya. Oleh karena itu kemarahan perlu dikelola. Dalam bahasa tetua, laksana penyakit ia perlu disembuhkan.

Marah, sebagai suatu bentuk energi adalah sesuatu yang sangat menakutkan dari sejak zaman dulu sampai sekarang. Marah lebih banyak menghasilkan kemudharatan daripada kemanfaatan. Nyaris semua malapetaka kemanusiaan adalah bentuk kemarahan. Marah bisa berbentuk peperangan, menjelma menjadi terorisme hingga berwujud bunuh diri. Semua memiliki akar kuat pada kemarahan. Pinangan ditolak, timbullah marah akhirnya menyulut peperangan. Akidah merasa dilecehkan berujung marah dan dendam yang terlampiaskan dengan tindakan terror. Keinginan yang tidak terpenuhi terpendam dalam, menemui jalan buntu sehingga gantung diri. Ngeri melihat itu semua. Oleh karena itu, tanpa upaya sengaja untuk menyembuhkan kemarahan, masa depan akan penuh dengan awan penghalang.

Subyek dan obyek kemarahan sudah pernah didekati oleh banyak sekali peneliti dan pemerhati dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Hasilnya hampir serupa. Mereka menyimpulkan bahwa akar terdalam kemarahan, sulit diingkari, adalah perasaan yang selalu kurang di dalam. Perasaan yang selalu kurang ini bisa bermacam-macam; mulai dari keinginan yang berlebih, kekecewaan pada diri dan lingkungan atau tersakiti. Darinya kita bisa mengerti kenapa remaja mencari pacar, orang dewasa mencari harta dan tahta, juga di rumah tangga ada perceraian. Bahkan di dunia spiritual pun orang lapar sekali mencari pencerahan. Dan rasa yang kurang di dalam ini membuat seseorang memiliki banyak musuh, bahkan dari dalam dirinya sendiri.

Musuh-musuh dari dalam diri manusia sebagai sumber kemarahan ini, telah didekati dengan berbagai macam jalan. Tujuannya tentu agar terpenuhi dan damai. Namun ternyata seperti menyiram api dengan minyak. Majunya perkembangan teknologi, pesatnya pertumbuhan industri kosmetik, cepatnya pertumbuhan bisnis bedah plastik tidak mampu meredamnya. Semua itu hanya serangkaian pendekatan dan menjadi tanda kalau manusia di zaman ini memiliki banyak musuh di dalam dirinya. Sedihnya, musuh-musuh di dalam ini selalu mengundang datangnya musuh-musuh dari luar. Ia mirip dengan sampah yang mengundang datangnya banyak lalat. Interaksi antara musuh di dalam dengan musuh di luar, itulah yang membuat banyak manusia terus terbakar dan terombang-ambing oleh kemarahan. Tidak akan sembuh jika belum menyadari sepenuhnya. Dan agar sembuh sepenuhnya dari kemarahan, tidak ada cara lain selain belajar menyembuhkan rasa yang serba kurang di dalam. Caranya, dengan wujud menyentuh kekinian secara mendalam, sesuai wasiat indah Rasul berikut ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” (HR. Ahmad)

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ، وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

“Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud)

Dibalik makna dua hadits ini, ternyata menerangkan maksud bersentuhan dengan kekinian secara mendalam. Sederhananya, seseorang disarankan hadir utuh dan penuh di saat ini. Diam. Netral. Lakukan perpindahan posisi biar sadar dengan apa yang sedang dikerjakan. Tahu sedang apa dan bagaimana. Bebas dari kemelekatan pada hal-hal positif, bebas dari kebencian akan hal-hal negatif. Apa pun berkah kekiniannya, belajar mendekap kekinian dengan kualitas senyuman yang sama. Itulah makna indah perubahan posisi ketika marah. Ia menyembuhkan.

Di sesi-sesi pelayanan sering disampaikan pesan seperti ini: “masa lalu sudah berlalu, masa depan belum datang, satu-satunya hadiah yang diberikan kehidupan adalah saat ini”. Keadaan bersentuhan dengan saat ini akan lebih mudah dicapai kalau seseorang meyakini kalau semua adalah senyuman kesempurnaan yang sama. Yang terjadi adalah yang terbaik dari Yang Punya Kehidupan untuk semua diri. Semuanya hadir membawa bimbingan-bimbingan, itulah salah satu cara menyentuh saat ini secara mendalam. Lebih dalam lagi kalau seseorang bisa mendekap setiap rasa sakit seperti seorang ibu yang mendekap putra tunggalnya yang sedang menangis. Dengan cara ini, pelan perlahan seseorang sedang menyembuhkan akar terdalam dari kemarahan dan menemukan berkah indah kehidupan penuh dengan kesyukuran. Apalagi jika memahami yang satu ini. Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذهُ دَعَأهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ مَا شَاءَ

“Barangsiapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan.” (HR. Abu Daud)

Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan dalam surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

“Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).

Mengelola amarah ternyata sangat penting, baik untuk kehidupan kini dan nanti. Dengan mengelola amarah dengan baik dan benar, fokus pada bimbingan-bimbingan akan menyembuhkan. Setidaknya mengurangi derajatnya sehingga tidak merusak dan bisa diterima. Dan pada akhirnya, semoga sekarang kita pun mengerti kenapa hanya dengan tidak marah berbalas surga.

The post Menyembuhkan Kemarahan appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/menyembuhkan-kemarahan/

built with : https://erahajj.co.id