Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjadi Yang Sedikit

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 30 Juli 2021, 14:12:45

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Setiap orang mengakui, kehidupan yang indah adalah kehidupan yang penuh dengan kesyukuran. Tidak saja bagi mereka yang berjalan jauh di lorong-lorong spiritual, di dunia material pun sama. Orang yang penuh kesyukuran selalu disukai. Hal itu, disebabkan kesyukuran membuat semuanya terhubung. Mulai dari diri sendiri, orang sekitarnya dan lingkungan pada umumnya. Bahkan pemilik alam semesta pun menyenanginya. 

وإن تشكروا يرضه لكم

“Dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian.” (QS. Az-Zumar: 7)

Karenanya, berbagai usaha pun dilakukan, mulai dari yang kecil berupa membina hati, kemudian yang gampang dengan ucapan atau yang berat dengan tindakan – tindakan nyata. Sayangnya, tak banyak orang yang pada akhirnya meraih predikat indah itu. Seolah menyelami samudra, kesyukuran timbul-tenggelam, terombang-ambing dalam irama hidup ini. Nikmat yang tak terhitung dan sifat lalai akan nikmat, menyebabkan hidup berlimpah dengan rasa syukur menjadi barang yang sulit ditemukan. Maha Benar Allah yang telah menulis dengan tinta tebal bahwa kategori orang yang bisa bersyukur itu sedikit. 

{ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13) }

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba’:13) 

Konsekuensi dari hukum ini di antaranya adalah susahnya mencari keteladanan dalam bersyukur. Di Quran misalnya, hanya beberapa hamba yang tertulis sebagai ahli syukur. Pertama, tentu kisah Nabi Nuh yang tertulis di dalam Surat al-Israa ayat 3.  Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam,

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

“(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Nuh adalah hamba yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3). 

Tentu kita mafhum, bagaimana Nabi Nuh mendapat predikat seperti itu. Selama hampir 1.000 tahun amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi hanya mendapatkan 80 orang yang beriman. Dengan sabar dan telaten meniti masa, menyambut hari dengan penuh kegembiraan. Tak kenal lelah, terus berusaha. Walau pada akhirnya anak dan istrinya sendiri tidak berhasil diselamatkan. Model ini, berkenaan adanya konsistensi untuk tetap bersyukur dengan lamanya waktu.

Kemudian Allah menceritakan Nabi Ibrahim sebagai hamba yang bersyukur, sebagai contoh kedua. 

{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لأنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (121) وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (122) ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (123) }

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif, ” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS An-Nahl 120-123)

Tak heran digelari Khalilullah – Kekasih Allah. Bagaimana dia sanggup merontokkan berhala-berhala dan menjungkir-balikkan logika manusia-manusia penyembahnya. Bahkan dibakar hidup-hidup, namun keluar dengan selamat. Bukan kepanasan, malah menggigil kedinginan, di tengah kobaran api dan amarah massa. Seorang diri menantang seluruh dunia. Dan gigih berjuang sampai akhir masa. Berani, sabar dan konsisten. Model dengan predikat tertinggi dan terjaganya keturunan yang shalih selanjutnya. 

Berikutnya, yang ketiga yang tak kalah menarik adalah Nabi Daud dan keluarganya, yang disebutkan di dalam surat Saba. 

{وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ (12) يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13) }

Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (dibawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah, hai keluarga Daud, untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (QS Saba: 12-13)

Berbeda dengan model kesyukuran sebelumnya, model kesyukuran Nabi Daud ini adalah model kesyukurannya orang yang punya harta dan tahta. Dengan segala problem yang menyertainya, contoh kesyukuran ini tetaplah menjadi bahan perenungan yang indah. Sudah kaya, bersyukur lagi. Dan rasanya ini menjadi idaman setiap orang. Seperti slogan para milenia sekarang; lahir kaya, muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga. Nah bagi yang berminat silahkan mencontohnya. 

Berkenaan dengan masalah syukur ini Nabi Dawud pernah bertanya kepada Allah. “Bagaimana aku mampu bersyukur kepadaMu ya Allah, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah pun menjawab, “Sekarang Engkau telah bersyukur kepadaKu, karena Engkau mengakui nikmat itu berasal dari-Ku”. (Tafsir Ibnu Katsir) Sudahkah kita pernah bertanya seperti itu?

Memperkuat hal ini, Rasulullah ﷺ pun menambahkan dengan sabdanya;

“إِنْ أَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صلاةُ داودَ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا. وَلَا يَفر إِذَا لَاقَى”.

“Sesungguhnya salat yang paling disukai oleh Allah adalah salatnya Nabi Daud; dia tidur hingga pertengahan malam, lalu berdiri (salat) sepertiganya dan tidur seperenamnya. Dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasanya Nabi Daud; dia puasa sehari dan berbuka sehari, dan apabila berperang Daud tidak pernah lari dari medan perang.” (HR al-Bukhari) 

Apakah sudah pernah melakoni amalan seperti ini?

Bahkan ada nasehat terkenal dari Umi Sulaiman, sebagaimana riwayat berikut.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: “قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ لِسُلَيْمَانَ: يَا بُنَيَّ، لَا تُكْثِرِ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَإِنَّ كَثْرَةَ النَّوْمِ بِاللَّيْلِ تَتْرُكُ الرَّجُلَ فَقِيرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.

Dari Jabir r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Ibu Nabi Sulaiman ibnu Daud a.s. berkata kepada putranya Sulaiman, “Wahai anakku, janganlah kamu memperbanyak tidur di malam hari, karena sesungguhnya banyak tidur di malam hari membiarkan seseorang (pelakunya) menjadi orang fakir kelak di hari kiamat.” (HR Ibnu Majah) 

Yang keempat, tentu apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, sebagai uswatun hasanah. Ketika turun Surat Fath ayat 1 yang menetapkan pengampunan kepadanya atas dosa yang terdahulu dan yang akan datang, kesungguhan Rasulullah ﷺ dalam bersyukur semakin menjadi. Shalat malam membuat kedua kakinya bengkak-bengkak, sehingga Aisyah pun tidak tinggal diam. Padahal, kita ketahui bersama Rasulullah ﷺ adalah pribadi yang penuh keistimewaan dan dengan banyak pilihan. Dan inilah pilihan hidupnya; menjadi hamba yang bersyukur. 

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ ‏ “‏ يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ‏”‏ ‏.‏ 

Dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, dia berkata; “Rasulullah ﷺ biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kedua kakinya bengkak – bengkak. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?’ Rasulullah ﷺ besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari).

Dari teladan di atas, kita perlu menempuh jalan panjang lebih lanjut untuk menjadi ahli syukur. Walaupun tertulis sedikit dengan tinta tebal, bukan berarti tertutup kemungkinan. Banyak pilihan-pilihan yang tersedia, sesuai situasi dan kondisi yang ada. Mari terus berharap dan berusaha menjadi bagian yang sedikit itu. Tentu bukan untuk bersaing menjadi nabi atau wali, setidaknya bisa mendekati kemampuan maksimal kita. Itu sudah sangat membahagiakan. Entah apa predikat dan posisinya di sisi Allah, tak usah dipedulikan. Yang penting terus mengepolkan rasa syukur, bersyukur dan mencari terus jalannya syukur setiap waktu dan kesempatan. 

Dengan spirit menjadi yang sedikit, ayo fastabiqul khairat, setidaknya sebagaimana kisah Umar bin Khaththab ketika mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur” (QS Saba’:13), makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.” 

Semoga!

The post Menjadi Yang Sedikit appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/menjadi-yang-sedikit/

built with : https://erahajj.co.id