Jakarta (22/4). Salah satu Ketua DPP LDII sekaligus Ketua DPW LDII Jawa Tengah, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum menjadi salah satu pemateri dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Kebijakan Daerah dan Kelembagaan (PPKDK) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret, pada Kamis (22/4).
Pada webinar tersebut, Prof. Singgih yang merupakan ahli sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro menyampaikan materi tentang ‘Bahasa Indonesia, Pancasila, dan Pondasi Civilization-State’
“Sebetulnya bangsa ini dalam konteks tertentu masih rawan menghadapi ancaman integrasi sehingga mempengaruhi sustainability atau keberlangsungan negara itu sendiri. Oleh sebab itu, konstruksi kebudayaan yang berbasis pada Bahasa Indonesia dan Pancasila itu bisa menjadi dasar untuk kita membangun suatu model negara dengan civilization-state atau negara peradaban,” jelas Singgih pada fokus pembahasan materinya.
Singgih mengemukakan bahwa negara-negara yang disebut civilization-state, yaitu sebuah negara/bangsa yang punya basis kebudayaan untuk menopang dan memperkuat negara itu di dalam menghadapi berbagai ancaman sehingga mereka masih tetap bisa menjaga integrasi kewilayahan atau teritori politik mereka.
Seperti RRC dan Jepang contohnya, kedua negara ini memiliki basis kebudayaan yang sangat kuat. Setelah kolonialisme barat, mereka tetap bisa mempertahankan diri, meskipun telah terjadi bertransformasi dalam pemerintahan mereka dari kekaisaran menjadi republik.
Dalam konteks Indonesia, yang jadi pengikat adalah disamping aspek sejarah sebagai kelompok etnik yang dijajah, kemudian ikatan yang paling kuat adalah cita-cita bersama. Yaitu ingin menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan menuju kemakmuran bersama.
Seandainya kalau tidak ada ikatan seperti itu, maka nation-state itu akan berubah menjadi multi ethnic-state. Negara yang bersifat multi etnik, dimana hubungannya sangat renggang, yang akhirnya terjadilah persaingan dan konflik. Tanpa ikatan peradaban, maka nation-state itu akan rapuh.
Karena itu Singgih menyampaikan, “Semestinya Indonesia yang sekarang ini masih nation-state harus melakukan cara-cara tertentu agar bisa mengalami transformasi menuju civilization-state, yang memiliki budaya dan peradaban yang jelas.”
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Bahasa (Indonesia) dan Pancasila sesungguhnya merupakan fondasi peradaban sangat penting untuk diwujudkan dalam konteks civilization-state sebagai basis Indonesia sebagai nation-state.
Sejak dulu Bahasa Indonesia sudah digunakan baik sebagai lingua franca maupun sebagai bahasa intelektual. Yang semakin berkembang, yaitu bahasa menjadi media ekspresi budaya, menjadi bagian dari identitas kebangsaan dan menjadi sarana persatuan dari berbagai kelompok etnik dan ras yang ada di Hindia Belanda.
Sedangkan peran Pancasila dalam konstruksi keindonesiaan, yaitu sila pertama sebagai pondasi, sila kedua sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, dan sila ketiga dan keempat sebagai semangat dan cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
“Artinya Pancasila harus menjadi sumber rujukan membangun kebudayaan,” kata Singgih.
Karena peran Bahasa Indonesia dan Pancasila merupakan elemen budaya yang sangat penting dalam proses konstruksi dan penguatan Indonesia sebagai civilization-state yang akan mendukung kelestarian nation-state Indonesia. Singgih menegaskan, “Bahasa Indonesia dan Pancasila harus dilestarikan, dikembangkan, sosialisasi lebih luas dan diinternalisasikan kepada generasi muda lewat pendidikan.” (Dita/Lines)
The post Pentingnya Bahasa Indonesia dan Pancasila Sebagai Konstruksi Budaya Penguatan NKRI. appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/pentingnya-bahasa-indonesia-dan-pancasila-sebagai-konstruksi-budaya-penguatan-nkri/