Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menuju Ikhlas

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 11 Maret 2021, 02:34:23

Oleh: Faizunal A. Abdillah: Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Suatu ketika Nasrudin duduk dengan anak seorang bintang sepak bola. Ayahnya sedang latihan. Ketika sang ayah menembakkan bola dan masuk gawang, setiap orang bersorak-sorai. Anak itu tidak terkesan. Ia hanya duduk saja dan kelihatan jenuh.

“Ada apa dengan kamu?” kata Nasrudin. “Apakah kamu barusan tidak melihat ayahmu menciptakan gol itu?”

“Ya, Ayah memang jitu melakukannya pada hari Selasa ini. Tetapi pertandingannya baru pada hari Jumat. Waktu itulah gol benar-benar dibutuhkan.”

Nasrudin menyimpulkan, “Tindakan-tindakan dianggap bernilai jika menolong kamu mencapai tujuan-tujuan, bukan demi tindakan itu sendiri. Sayang sekali!”

Belajar dari lelucon di atas, mengerti adalah satu hal, memahami adalah hal lainnya. Dan mempraktikkan pengertian dan pemahaman merupakan tantangan berikutnya. Di sinilah terkadang manusia harus belajar untuk apa sebenarnya ilmu, amal dan pemahaman. Walau kata sering ditanya sudah paham dan jawabnya sudah, kenyataannya berbeda. Untuk itulah perlunya belajar, nderes/mengulang dan bergaul untuk mendengarkan kalimat-kalimat hikmat untuk menaikkan kelas pemahaman kita.

Ada dua riwayat tua yang indah, sebagai benchmarking: perkeling dan pembanding dalam pencarian jalan menuju ikhlas. Pertama,

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

Dari Umar sesunguhnya Rasulullahbersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah SWT sangat bergantung pada niat kita. Kedua,

أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ ‏ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.‏

Mengabarkan kepadaku (Qosim Bin Muhammad) Aisyah, sesungguhnya Rasulullahbersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka perbuatan amal itu ditolak.” (Rowahu Muslim).

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah SWT, jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah SWT, yaitu ikhlas karena Allah.

Maka, beruntunglah diri ini ketika Sang Bijak – Guru Selamat mau berbagi menuju keikhlasan ini. Walau ikhlas adalah masalah hati, namun bisa ditengarai dari sifat-sifat lahiriah yang itu adalah cerminan dari apa yang tersirat di dalam hati. Begitu pituahnya. Diri inipun tertunduk, khidmat mencermati. Kadang merasa berat sebab itu pas dengan apa yang diri ini alami. Betapa rasa berdosa menghinggapi dan membuat diri ini tak berarti. Seolah guwak byuk dan hanya kepada Allah kembali. Semoga Allah mengampuni. Astaghfirullah!

“Mau ibadah yang ikhlas? Coba sadar diri, kita banyak kekurangan,” begitu awal pembicaraannya. “Ikhlas akan hadir ketika diri mengakui masih banyak kekurangan pada diri ini. Tidak hanya sekedar instropeksi, tapi lebih dalam lagi. Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia  merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah dan Rasulnya. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dalam setiap detik kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia merasa cemas apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah, karena itu ia kerap menangis.” Dan seumur-umur, saya belum pernah ingat pernah menangisi sebuah kekurangan ini. Masya Allah! Betapa jeleknya diri ini. Dan Sang Bijak – Guru Selamat menukil kisah dialog Aisyah dengan Rasulullah ﷺ tentang ayat 60 Surat Al-Mu’minun.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَل، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، {وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} ، هُوَ الَّذِي يَسْرِقُ وَيَزْنِي وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ، وَهُوَ يَخَافُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: “لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُ الَّذِي يُصَلِّي وَيَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ، وَهُوَ يَخَافُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ”.

Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Maghul, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sa’id ibnu Wahb, dari Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengerjakan perbuatan mereka, sedangkan hati mereka takut” itu adalah orang yang mencuri, berzina, dan minum khamr dalam keadaan takut kepada Allah?” Rasulullahmenjawab; “Tidak, hai anak perempuan As-Siddiq. Tetapi dia adalah orang yang salat, puasa, dan bersedekah, sedangkan ia takut kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia.” (Rowahu Ahmad).

Sang Bijak – Guru Selamat melanjutkan, “Buah dari kesadaran ini, menjadikan orang tersebut cenderung untuk menyembunyikan setiap amal kebajikannya. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang kokohnya keseluruhan bangunan. Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain.” Sampai di sini, sejenak dada ini sesak. Dipenuhi penyesalan yang seolah akan meledak. Kemudian beliau menukil kisah pertemuan Umar dengan Muadz bin Jabal di Masjid Nabawi.

حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عِيسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ خَرَجَ يَوْمًا إِلَى مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَاعِدًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكَ قَالَ يُبْكِينِي شَيْءٌ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ وَإِنَّ مَنْ عَادَى لِلَّهِ وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَ اللَّهَ بِالْمُحَارَبَةِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْأَبْرَارَ الْأَتْقِيَاءَ الْأَخْفِيَاءَ الَّذِينَ إِذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوا وَإِنْ حَضَرُوا لَمْ يُدْعَوْا وَلَمْ يُعْرَفُوا قُلُوبُهُمْ مَصَابِيحُ الْهُدَى يَخْرُجُونَ مِنْ كُلِّ غَبْرَاءَ مُظْلِمَةٍ * رواه ابن ماجة

Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb telah mengabarkan kepadaku Ibnu Lahi’ah dari Isa bin Abdurrahman dari Zaid bin Aslam dari Aslam dari Umar bin Khattab, bahwa suatu ketika dia keluar menuju masjid Nabilalu berjumpa dengan Mu’adz bin Jabal yang sedang duduk di sisi Kuburan Nabisambil menangis. Maka ia pun bertanya, “Apa yang membuatmu manangis?” Mu’adz menjawab, “Aku menangis karena sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ, aku mendengar Rasulullahbersabda, “Sesungguhnya riya’ yang paling ringan pun sudah terhitung syirik, dan sesungguhnya orang yang memusuhi wali Allah maka dia telah menantang bertarung dengan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik lagi bertakwa dan tidak dikenal, yaitu orang-orang yang apabila menghilang maka mereka tidak dicari-cari, dan jika mereka hadir maka mereka tidak di kenal, hati mereka ibarat lentera-lentera petunjuk yang muncul dari setiap bumi yang gelap.” (HR. Ibnu Majah).

Jangankan seperti akar dan pondasi, bisa sakdermo menjadi batang dan dinding saja perlu perjuangan yang berat dan susah. Banyak cobaan dan rintangan untuk menegakkannya, untuk selalu bisa murni dan ikhlas karena Allah. Setiap saat, setiap waktu. Allah Al-Musta’an (Kepada Allah tempat minta pertolongan).


Sumber berita : https://ldii.or.id/menuju-ikhlas/

built with : https://erahajj.co.id