Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Tentang Cukup

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 05 Maret 2021, 07:10:09

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Ada satu kata di kehidupan ini, yang seolah-olah menjadi teka-teki silang yang harus dipecahkan. Tak lain, untuk membangun kemajuan dan peradaban spiritualitas yang lebih baik bagi setiap diri. Sebab masih banyak yang salah kaprah. Saling-silang. Tahu artinya, tetapi tidak dalam praktiknya. Akibatnya lahir pengertian-pengertian baru yang menyimpang, berlawanan dan menjerumuskan. Bukan membina, tapi membinasakan. Padahal batasannya jelas dan contohnya pun gamblang. Kata itu adalah “cukup”.

Dalam KBBI ada enam arti dari kata ini. Di antaranya, cukup diartikan; dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dan sebagainya; tidak kurang. Namun kemudian ‘diperkosa’ menjadi cukup untuk beli rumah, beli apartemen, cukup untuk beli mobil, cukup untuk menikah, cukup untuk melancong dan cukup-cukup lainnya, sehingga melampaui makna asal. Akibatnya ‘cukup’ kehilangan jati diri menjadi “tidak cukup” lagi alias berlebihan. Parahnya lagi, menyebabkan empunya keteteran. Beruntung cepat sadar diri. Nah, tambah PR lagi, ketika saya mendapatkan pesan indah dari Sang Guru Bijak yang menguakkan kembali makna cukup yang sebenarnya di kehidupan ini. Pesannya singkat; rasa cukup adalah kekayaan terbesar.

Menjadi unik kedengarannya. Terasa aneh di telinga dan dahi pun berkenyit. Gagal paham. Belum mengerti yang satu datang penyelia lain. Kondisinya seperti dilepas kepalanya, kemudian ditarik ekornya. Apalagi bagi yang berpacu dengan waktu, dengan ingar-bingar pencarian keluar, dengan kerja keras dan banting tulang. Itupun masih jauh dari kata cukup. Tiba-tiba, ada yang menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira miring, anti mainstream.  Tak salah jika banyak yang menyangka, yang demikian itu menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai anti kemajuan, atau sebagai kambing hitam. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Hanya saja, bagi setiap penekun kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Apalagi yang memahami wasiat indah dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah ﷺ bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ

“Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah).

Sebagai kekayaan terbesar, cukup berarti menikmati dengan sempurna apa yang didapat. Cukup adalah mensyukuri dengan indah (menerima total) apa yang diberikanNya. Bukan hanya seharusnya. Sebab apa yang didapat belum tentu bisa dinikmati semua. Tetapi dengan rasa cukup semua menjadi sesuai, seperti yang dibutuhkan dan diperlukan. Nggak kurang, tetapi menjadi berlebih. Persis yang dikatakan oleh Ibnu Baththol, cukup adalah

الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار،

“Ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri pada keputusan-Nya, sebab mengetahui bahwasanya segala yang di sisi Allah itulah yang terbaik untuk manusia.”

Penjelasan Sang Guru Bijak sangat membuka hati dan mencerahkan dalam hal ini. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi bukan. Akan tetapi mengikuti rumus kehidupan; kerjo mempeng tirakat banter (mujhid muzhid). Terutama, karena hidup serta alam memang berputar melalui hukum-hukum kerja. Sesuai salah satu warisan agung Rasulullah ﷺ dengan sabdanya:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُزْهِدُ الْمُجْهِد رواه أحمد

“Sungguh beruntung, orang yang mujhid (bekerja giat) dan muzhid (hemat).” (HR Ahmad).

Dengan rumus begini, ternyata sekaligus memberikan pilihan mengagumkan; bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup yang mendalam. Nrimo ing pandum. Dan rupanya, ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar, namun rasa syukurnya terus tumbuh mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan semuanya, manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Dalam terang cahaya pemahaman seperti inilah, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekadar memaksa diri agar damai dan bahagia. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, terpatri, manusia seperti terlempar dengan nyaman ke jaring-jaring kehidupan.  Yang begini sesuai dengan riwayat indah Sahabat Abu Hurairah. Rasulullah ﷺ bersabda:

وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ

“Dan ridhalah dengan apa-apa yang dibagikan Allah kepadamu, maka engkau akan menjadi lebih kayanya manusia.” (HR At-Tirmidzi).

Dari ’Ubaidillah bin  Mihshan  Al Anshary dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi).

Melengkapi akar permasalahan cukup, Sang Guru Bijak sering mengajarkan hidup berputar laksana roda. Dan setiap pencarian kekayaan ke luar (menjauhi roda), yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang ketakutan di pinggir roda. Namun jika mencari ke dalam – di titik pusatnya, maka tidak ada putaran sama sekali. Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, syukur, jernih, damai sekaligus kaya. Bagi yang belum pernah mencoba, apa lagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati, hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan. Hanya keberanian untuk mencoba dan melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini. Diiringi niat penuh dan tulus, menuju ke titik pusat roda kehidupan, sesuai hadits dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda :

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR Ibnu Majah).

Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Itulah idaman setiap orang. Hal ini bisa ditemukan pada orang-orang yang mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di sisi lain. Bila orang-orang seperti ini mampu berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang suatu waktu dimana amat bahagia dengan biasa tampak luarnya, sederhana perilakunya, namun luar biasa berkelimpahan, kaya pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi, karena rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang lain dan sekelilingnya. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah. Sebab pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain seperti sapu. Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup yang mendalam seperti lap pel, bersih, jernih tanpa menimbulkan dampak negatif ke sekitar. Inilah kurang-lebih kondisi yang pernah digambarkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sebuah sabda indahnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullahbersabda,”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari).

Itulah rasa cukup. Sebuah rahasia kekayaan terbesar yang mengagumkan. Bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya, ketika disertai rasa cukup yang mendalam dan rasa syukur yang berlimpah, ditemukan kehidupan penuh daya guna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain dan lingkungan sekitar. Menjadi tugas kita berikutnya, untuk menemukan rasa cukup itu, sehingga berdaya dan berguna di kehidupan ini. Jika memang diberi kehidupan berlimpah harta, suatu saat nanti, akan mengerti betul spirit dan maksud hadits berikut ini. Nabi ﷺ bersabda:

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

“Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia adalah bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah).


Sumber berita : https://ldii.or.id/tentang-cukup/

built with : https://erahajj.co.id