Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Mirip. Tapi jangan terkecoh. Hati-hati membacanya, jangan sampai salah arah. Ini hanya sebuah konsep menuju pemahaman kehidupan yang lebih sempurna. Tidak ada maksud lain. Sesuai judul yaitu menikah, semua pasti mafhum, yang dimaksud tentu adalah sebentuk hubungan, antara lelaki dengan perempuan sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Ini adalah kodrati. Fitrah anak Adam.
Nah, sesuai dengan bentuk hubungan manusia lainnya – baik kerja dalam tim, menata organisasi, dan lain-lain – perkawinan akan senantiasa diwarnai oleh friksi dan perbedaan. Sebagian orang bahkan meyakini, di situlah letak seni berhubungan dengan manusia. Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra., diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لا يؤمنُ أحدُكم حتَّى يكونَ هواه تبعًا لما جئتُ به
“Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. Ath Thabrani)
Ada anekdot menarik dalam menikah ini. Karena disampaikan dengan jeda, sehingga menghentak kesadaran. Begini; nikah itu enaknya cuma 10 %. Sampai di sini, pasti semua pikiran melanjutkan dengan angka dan statiska sendiri-sendiri; pasti 90%nya gak enak. Wah kecil sekali. Menyedihakan. Tapi anekdot itu ada terusannya. Bunyinya; 90 % uenak sekali. Tentu menjungkir balikkan asumsi yang pertama dan membuka jembatan pemahaman. Ini bukan berarti menyepelekan persoalan. Pemeo tersebut adalah sebuah optimisme. Karena permasalahan dalam pernikahan selalu ada, namun rantai nilai manfaatnya amatlah besar. Nabi ﷺ bersabda :
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الْإِيمَانِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي
“Barangsiapa menikah, ia telah menyempurnakan setengah agamanya. maka hendaknya ia bertaqwa kepada Allah untuk setengah sisanya.” (HR. Ath-Thabrani)
Seiring dengan anekdot ini, aliran darah saya berdesir pada satu konsep mendasar menikah. Jangankan menikah dan bekerjasama dengan orang lain, kalau ada kesempatan untuk “menikah” dan bekerjasama dengan diri sendiri misalnya, saya tidak yakin kalau semuanya akan berjalan amat mulus. Penolakan, perbedaan, ketidakcocokan akan senantiasa ada. Padahal hanya satu badan. Apalagi dua badan. Dan berbeda dengan bentuk hubungan bersama orang lain – di mana kalau tidak cocok kita bisa mencari penggantinya – dengan diri sendiri, kita tidak punya pengganti. Tubuh dan jiwa yang kita miliki hanyalah yang kita punya sekarang ini. Dengan kesadaran terakhir ini, kita tidak punya pilihan menolak, cerai atau berpisah dengan diri sendiri. Satu-satunya pilihan adalah harus “menikahi” sang diri.
وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰهَ يَحُوۡلُ بَيۡنَ الۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهٖ وَاَنَّهٗۤ اِلَيۡهِ تُحۡشَرُوۡنَ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal:24)
Manusia-manusia yang hidupnya kena stres, depresi, masuk rumah sakit jiwa atau bunuh diri sekalian, adalah sebentuk orang yang “pernikahannya” dengan sang diri gagal. Sebaliknya, pengalaman saya bertutur, kebanyakan orang yang berhasil hidupnya, sering ditandai oleh kemesraan yang mengagumkan dengan sang diri. Kelemahan, kekurangan, bahkan cacat tubuh sekalipun, tidak menjadi penghambat, malah menjadi sarana kemajuan yang mencengangkan.
Meminjam argumennya Iris Barrow dalam Make Peace With Yourself, ‘many people suffer all their lives because they do not accept and come to terms with the feelings of anger, frustration, resentment, fear, despair…which they experience‘. Banyak orang menderita sepanjang hidup mereka karena mereka tidak menerima dan datang untuk berdamai dengan perasaan marah, frustrasi, kebencian, ketakutan, putus asa … yang mereka alami ‘.
Dari An Nu’man bin Basyir ra., Nabi ﷺ bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Belajar dari sini, tidak hanya kelebihan dan kehebatan yang harus kita peluk dan terima apa adanya. Kekurangan seperti marah, frustrasi, takut dan sejenisnya sebaiknya kita peluk dan terima sama baiknya. Ini penting, sebab banyak penyakit kejiwaan bersumber pada penolakan terhadap kekurangan-kekurangan terakhir. Untuk itu, saya belajar tidak hanya menjadi pemaaf buat orang lain, tetapi menjadi pemaaf buat diri saya sendiri.
Sebagaimana pernah ditulis Catherine Ponder dalam The Dynamic Law of Healing : ‘Forgiveness can unblock whatever has stood between you and your good‘. Sikap pemaaf bisa membuka banyak pagar yang memisahkan diri kita dengan sejumlah kesempurnaan yang telah ada di dalam. Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Dan ridhalah dengan apa yang Allah tentukan untukmu niscaya kau menjadi orang terkaya.” (HR. Tirmidzi)
Tidak bisa dibayangkan, kemana larinya keberhasilan, indahnya kehidupan, jika setiap hari kita ingin menghindari masalah dan ‘bercerai’ dengan rasa marah, takut, frustrasi yang datang dari dalam diri. Dengan isteri, setelah cerai kita bisa atur untuk tidak bertemu lagi. Dengan marah dan rasa takut, ia akan datang dan datang lagi. Anda boleh memilih sikap apapun, namun saya sedang mendidik diri untuk menikah dan akur dengan diri saya. Dan alhamdulillah saya mulai sedikit memahami maksud Allah dalam ayat indah berikut ini.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” [An-Nazi’at/79: 40-41]
Sumber berita : https://ldii.or.id/esai-menikah/