Oleh Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ »
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah ﷺ, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau ﷺ bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau ﷺ bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Menambah dalam dan luas lagi cakrawala pemahaman sabda indah di atas, rasanya kita perlu mengenal lebih dekat Bhutan. Apa hubungan Bhutan dengan hadits di atas? Begini ceritanya, Bhutan adalah negeri kecil di Himalaya yang terkenal karena kebijakan Kebahagiaan Nasionalnya yang inovatif. Kalau negara lain pada umumnya mengukur kemajuan ekonominya dengan GDP (Gross Domestic Product), di Bhutan dengan GNH (Gross National Happiness). Di kerajaan inilah, satu-satunya tempat di muka bumi di mana kebahagiaan berkuasa dan kesedihan dilarang masuk.
Satu hal yang membedakan dari kebanyakan manusia lainnya ialah, bahwa di Bhutan para penduduknya membiasakan mengingat mati dalam sehari minimal 5 kali. Ini adalah budaya, bukan ritual agama atau sembahyang. Sebab sebagian besar penduduknya beragama Budha. Linda Leaming, penulis buku: A Field Guide to Happiness: What I Learned in Bhutan About Living, Loving and Waking Up (Panduan Lapangan untuk Mencapai Kebahagiaan: Apa yang Saya Pelajari di Bhutan tentang Kehidupan, Cinta dan Bangun), mengatakan; “Saya menyadari memikirkan tentang kematian tidak membuat saya depresi. Hal ini malah membuat saya dapat memanfaatkan kesempatan yang ada dan melihat hal-hal yang biasanya tidak saya lihat.” Di bagian lain ia tuliskan; “Di negara-negara Barat, jika kita sedih, kita ingin mengobatinya,” katanya. “Kita takut akan rasa sedih. Jika sedih, harus diatasi, diobati. Di Bhutan, orang lebih menerima bahwa itu bagian dari hidup.”
Dengan mengingat mati, ujungnya adalah sikap penerimaan (ikhlas) terhadap kehidupan ini bahwa tidak saja berisi hal-hal yang menyenangkan, kehidupan juga berisi hal-hal yang menyedihkan. Dan akhirnya sebuah kematian. Dan itu bisa terjadi kapan pun dimanapun. Karena tidak bisa dihindari, maka kewajiban kita untuk bisa menerimanya. Dalam bahasa sederhana Rasulullah ﷺ mengajarkan dengan sabdanya;
أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)
Dalam studi tahun 2007, psikolog dari Universitas Kentucky, Nathan DeWall dan Roy Baumesiter, membagi beberapa puluh murid mereka ke dalam dua kelompok. Satu kelompok disuruh memikirkan bagaimana mengalami rasa sakit ketika pergi ke dokter gigi, sementara kelompok lainnya diinstruksikan untuk berkontemplasi mengenai kematian mereka. Kedua kelompok kemudian diminta melengkapi kata-kata, seperti “jo”. Kelompok kedua – yang sudah memikirkan tentang kematian – lebih mungkin membuat kata yang positif, misalnya “jo” menjadi “joy” (bahagia).
Hal ini membuat kedua peneliti menyimpulkan bahwa “kematian merupakan fakta yang mengancam secara psikologis, tetapi ketika orang merenungkannya, kelihatannya sistem otomatis mulai mencari pikiran-pikiran yang membahagiakan”. Simaklah kata-kata indah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.” (Tafsir Al Qurthubi)
Serangkaian fakta di atas seperti mau memberi penjelasan yang indah ajaran Rasulullah ﷺ untuk banyak mengingat mati. Bukan kemalasan dan keputusasaan yang akan diperoleh, justru mengingat mati membuat kehidupan semakin bergairah, semakin cerdas dan berbuah kebahagiaan. Untuk itu, setiap kali berangkat ke tempat tidur di malam hari, ukurlah sebuah hari tidak saja dari banyaknya buah yang dipetik, tapi juga dari segi banyaknya benih yang ditanam. Maksudnya, uang, barang, pujian, kesenangan mirip dengan buah yang dipetik.
Namun menatap orang dengan mata yang penuh penerimaan, ketulusan untuk mendengarkan, ikhlas memaafkan adalah sebagian benih yang ditanam di hari itu. Persoalan waktu, ia akan berbuah di masa depan. Bangunlah di pagi hari dengan hati yang penuh rasa syukur, lakukan sesuatu yang indah untuk orang-orang yang Anda kasihi. Selebihnya, dekap semuanya dengan senyuman yang penuh keikhlasan.
Sumber berita : https://ldii.or.id/mati-pencerahan-yang-indah/