Pagi hari ketika baru keluar gerbang bandara Soekarno-Hatta saya kebingungan untuk mendapatkan angkutan umum ke hotel Ciputra. Taksi yang lewat depan loby kedatanganpun tidak mau berhenti. Beberapa kali ke Jakarta saya masih tidak tahu caranya melanjutkan ke tempat tujuan dengan angkutan umum. Bahkan saya juga belum bisa membedakan antara Bandara 1 dengan Bandara 2. Yang saya tahu bahwa bandara satu adalah untuk penerbangan swasta domestik sedang bandara dua milik Garuda dan penerbangan internasional.
Di tengah kebingungan sendiri tiba-tiba seseorang menyapa saya dari belakang, “mbah man!, mbah man!â€. Sontak saya kaget seraya tersenyum dalam hati. Setelah membalikkan badan saya lihat seorang laki-laki yang belum pernah saya kenal, bahkan namanya-pun sekarang saya sudah lupa, dan kami langsung bersalaman, berkenalan dan berbincang-bincang. Saya bersukur di tengah kesulitan ternyata ada “orang asing†yang datang membantu. Walau belum kenal, namun naluri saya yakin jelas dia adalah orang LDII, sebagaimana dia yakin bahwa saya juga “mbah Manâ€.
Kata mbah man begitu populer dan telah menjadi konsesus sekaligus identitas Warga LDII. “Mbah Man†telah menjadi pengikat persaudaraan antara Warga LDII sekalipun tidak saling kenal sebelumnya. Di manapun, di seluruh dunia!.Namun siapakah Mbah Man, yang namanya sangat melegenda itu?Mbah Man, nama aslinya adalah Sukiman kelahiran Magetan 1925. Sejak belia Sukiman telah mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan menjadi pejuang gerilya, tentara rakyat sebelum akhirnya pada tahun 1957 mendapat musibah terkena ranjau ketika berdinas. Pada usia sangat muda Sukiman harus kehilangan kedua kakinya hingga lutut akibat ranjau darat yang menimpanya. Selepas pensiun dari dinas militer tahun 1961 Sukiman mengabdikan seluruh sisa hidupnya ke Sabilillah dan mendapat amal sholih memimpin dapur Pondok Burengan Kediri, yang hingga sekarang dikenal dengan Dapur Mbah Man. Seluruh mubaligh dan mubalighot lulusan Pondok Burengan pasti mengenal Mbah Man karena mbah Man-lah yang “memberi makan†mereka.
Dapur adalah komponen vital dalam Pondok. Dapur adalah hidupnya Pondok Pesantren. Dengan kondisi cacat tubuh, Mbah Sukiman bersama tiga rekannya (Alm) H. Sabar, Bpk Ngatemin dan istrinya Ibu Warsiyem, dengan setia melayani dan menyediakan makan bagi ribuan santri dan puluhan tamu pondok. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan saat itu, mereka berempat harus berjuang menghidupkan tungku dapur mereka untuk terus menghidupi ribuan santri pondok. Saat ini tidak kurang dari delapan kwintal beras setiap hari dimasak di dapur Mbah Man dengan tungku raksasa, dalam tong menggunakan sekrop sebagai pengaduknya.
Suatu pagi di bulan Agustus 1988 ribuan santri Pondok Burengan meneteskan air mata mengantar kepergian Mbah Sukiman menghadap Sang Maha Pencipta. Mbah Sukiman kini telah tiada, namun “spirit Mbah Man†tidak ikut mati bahkan terus hidup berkobar menyala sampai hari ini. Mbah Man adalah sosok manusia beriman, pekerja keras yang ulet dan sabar. Mbah Man juga simbol kejujuran yang andap asor namun pemberani.
Kerjakanlah segala sesuatu secara“mbah man-anâ€, artinya kerjakanlah setiap pekerjaan dengan sungguh-sungguh, penuh kesabaran, secara jujur dan jangan pernah takut pada manusia karena hanya Allah-lah yang pantas ditakuti. Jiwa dan semangat Mbah Man inilah yang menurun pada ribuan santri Pondok LDII dan menjadi inspirasi bagi jutaan Warga LDII di seluruh dunia.
Perkembangan Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang mencengangkan banyak orang saat ini, dengan para mubaligh dan mubalighot sebagai ujung tombak penyebaran ilmu Quran Hadist, tidak terlepas dari jasa amal sholih dan jiwa perjuangan yang diwariskan oleh 4 orang pahlawan dapur Pondok Burengan termasuk seorang serdadu buntung bernama“Mbah Manâ€. (Budi Waluyo, ST)
LDII Bali
Sumber :Â LDII Sidoarjo