Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Sahabat

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 12 Januari 2022, 09:11:32

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Membuka gerbang memasuki bilangan hari di awal tahun baru 2022, seorang kawan berbaik hati mengirimkan sebuah hadiah indah. Bukan barang mewah, tetapi sebuah kisah. Sebentuk pelepas rindu akan hati yang terus memuja indahnya kehidupan. Dalam getaran yang sama, tetapi frekuensi yang berbeda, sehingga semuanya tampak baru dan berpadu. Kisahnya; kehidupan laksana gelombang, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Yang naik disebut masa senang atau bahagia, sedangkan yang turun, orang sering menyebutnya masa sulit dan penderitaan. Keduanya terus bergerak dan bergolak sampai akhirnya berpelukan erat mendarat lepas di bibir pantai.

Setiap orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan ini. Ada masa sulit dalam mencari pasangan hidup. Ada juga yang mudah mencari pasangan hidup, tetapi susah membina rumah tangga; enggak bisa akur dengan istri atau kesulitan mendidik anak-anak. Ada masa sulit dalam meretas karier, susah naik sering dibangkupanjangkan. Ada juga yang kesulitan menjaga kesehatan, atau kehidupan pribadi lain seperti digoncang badai. Setiap kepala juga setuju, kalau masa-masa sulit ini bukanlah keadaan yang diinginkan. Sebagian orang bahkan berdoa, agar sejarang mungkin digoda oleh keadaan-keadaan sulit, susah dan sejenis penderitaan lain. Sebagian lagi yang dihinggapi oleh kemewahan hidup, bahkan mau membuang jauh-jauh, atau lari sekencang-kencangnya dari godaan hidup bernama kesulitan ini.

Sayangnya, sekencang apapun kita menjauh dari kesulitan, serapat apapun kita membentengi diri dari kesusahan, sedalam apapun kita bersembunyi dari penderitaan, dengan maksud menghindar, ia tetap akan menyentuh badan dan jiwa ini di waktu-waktu ketika ia harus datang berkunjung. Rumus besi kehidupan seperti ini, memang berlaku pada semua orang, bahkan juga berlaku untuk seorang raja dan penguasa yang paling berkuasa sekalipun maupun pengusaha-pengusaha yang tajir melintir. Cobaan adalah keniscayaan.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157

“Dan niscaya sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqoroh:155-157).

Kiriman kawan tersebut mengetuk relung hati terdalam. Terlebih dalam situasi pandemi seperti saat ini. Sangat-sangat membuka kesadaran dan pemahaman akan realitas kehidupan. Sadar akan hal inilah, rasanya perlu bagi setiap orang untuk sesering mungkin mendidik diri untuk sabar dan ikhlas, ketika kesulitan datang berkunjung. Syukur-syukur bisa tersenyum memeluk kesulitan, sebagai buah kesabaran mengiringi istirja pada ketukan awalnya. Harapan selanjutnya tidak dibuat sakit dan frustrasi, itu akan sangat membahagiakan dan syukur mendalam.
Memang, pelukan-pelukan kesabaran, keikhlasan dan kebaikan seperti inilah yang diperlukan ketika cobaan, mushibah, kesulitan, penderitaan atau apalah semacam itu datang berkunjung. Terasa sakit memang, tapi karena ia sudah saatnya datang berkunjung, tidak ada pilihan lain terkecuali membukakan pintu rumah kehidupan untuk menerimanya. Maka seterpaksa apapun, seberat apapun dan sepahit apapun, hanya kesabaran dan keikhlasanlah satu-satunya modal berguna dalam menghadapi semua ini.

Senyum penerimaan terhadap kesulitan awalnya memang terasa kecut di bibir. Dan sebagaimana logam yang sedang dibuat menjadi ornamen indah, kesulitan memang terasa seperti semprotan panasnya api mesin las, dihajar oleh palu besar, kencangnya cubitan tang, menyakitkannya goresan-goresan amplas kasar, atau malah tidak enaknya bau cat yang menyelimuti seluruh badan ornamen logam. Semua tahu, kalau badan dan jiwa ini kemudian akan menjadi ‘ornamen logam’ yang lebih indah dari sebelumnya. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa ketakutan – dan bahkan mungkin trauma – yang membuat kita manusia menghindar dari kesulitan. Oleh karenanya Rasulullah mengajarkan doa yang amat sempurna dalam hal ini. Rasulullah SAW bersabda,

“مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا”

“Seorang hamba yang ditimpa musibah, lalu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, Allahumma’jurni fi mushibati wa ahlif li khairan minha (sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nyalah kita dikembalikan. Ya Allah, berilah aku ganjaran dalam musibahku ini dan berilah ganti kepadaku dengan yang lebih baik darinya), niscaya Allah akan memberi ganjaran padanya dalam musibahnya dan akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya.” (HR Muslim).

Sesuai dengan spirit makna hadits di atas, untuk mengukur tingkat kesabaran, sebelum mendapatkan ganti sesuai yang dijanjikan, kadang ada hal-hal yang menggembirakan mengiringinya. Misalnya, ada makhluk yang amat berguna dan amat dibutuhkan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman menyakitkan ini. Ia bernama sahabat. Tidak semua sahabat fasih memberikan nasehat. Tetapi dengan kesediaannya untuk mendengar, sinaran mata yang berisi empati, kesediaan untuk menjaga rahasia, sahabat menjadi permata berlian yang amat berguna dalam keadaan-keadaan ini. Bentuk keberkahan dan rahmat yang sempurna dan luar biasa.

Alhamdulillah di kehidupan memasuki usia setengah abad ini, saya memiliki beberapa sahabat yang amat mengagumkan. Dari segi pendidikan formal banyak orang yang menyepelekan. Ia hanya bergelar SDTT, Sekolah Dasar Tidak Tamat. Namun nasehat serta keteladanan hidupnya amat menyejukkan. Ada juga kawan yang suka menelpon, mengirim WA dan bahkan menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Tidak untuk memberikan ceramah, hanya untuk mendengar. Seorang sobat dekat lain yang jauh di sana, bahkan menyatakan bangga menjadi sahabat saya, walau belum pernah bertatap muka. Ia berucap; ‘Saya bangga menjadi sahabat Anda. Manusia salah itu biasa, tetapi menarik pelajaran dari kesalahan itu baru luar biasa’.

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ إِيَّاهُ ‏

Dari Miqdad Ma’dikaribi dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda; “Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah dia memberi tau bahwa dia mencintainya.” (HR At-Tirmidzi)

Apa yang mau dituturkan dengan semua ini, rupanya sahabat adalah salah satu hadiah paling berharga untuk diri kita sendiri. Secara lebih khusus, ketika kita ditimpa kesulitan. Ia dikirim dari Yang Maha Kuasa untuk mengiringi rahmatnya buah dari kesabaran kita. Oleh karenanya patut direnungkan kembali, perlunya menabung perhatian, empati, cinta buat para sahabat dan teman-teman lainnya. Tidak untuk berdagang dengan kehidupan. Dalam arti, memberi dengan harapan agar diberi kembali kelak, bukan. Melainkan, sebagaimana cerita dan pengalaman di dalam dunia persahabatan, dalam memberi kita sebenarnya sudah diberi. Bahkan, setiap sahabat yang memberi perhatian dan empati pada sahabat lainnya, ketika itu juga mengalami the joy of giving – (kebahagiaan dalam memberi). Semenjak itu juga, seperti ada beban di bahu yang berkurang jauh beratnya.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami “memberi” makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insan 9)

Ada memang orang yang memiliki banyak sekali teman. Kemana-mana namanya dipanggil orang. Setiap menghadap disapa. Sayang, sedikit di antara semua teman yang banyak ini kemudian bisa menjadi sahabat. Bercermin dari kenyataan inilah, maka saya lebih memusatkan diri untuk mencari dan membina sahabat. Jumlahnya memang tidak akan pernah banyak. Bahkan ia lebih sedikit dari jumlah jari tangan. Cuma sesedikit apapun jumlahnya, sahabat tetap sejenis hadiah terbaik yang bisa kita dedikasikan buat diri sendiri.

Mobil mewah memang bisa membawa kita ke tempat jauh lengkap dengan gengsinya. Rumah mewah memang bisa meningkatkan kenyamanan tinggal sekaligus meningkatkan status kelas sosial. Ijazah lengkap dengan gelarnya yang mentereng juga bisa meningkatkan percaya diri dan pengaruh. Akan tetapi, baik mobil mewah, rumah mewah maupun ijazah tidak bisa menghadirkan empati yang menyentuh hati. Amat sangat berbeda dengan yang namanya sahabat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ ‏”

Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; “Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud)

Inilah hadiah terindah mengawali tahun ini. Dialah sahabat. Ia tidak dibungkus kado, ia juga tidak datang ketika hari raya. Ia justru lebih sering datang, ketika kita amat membutuhkannya. Terima kasih sahabat! Alhamdulillahi Jazaakumullohu Khaira.

The post Sahabat appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/sahabat/

built with : https://erahajj.co.id