Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Mengalir, Terpusat dan Ikhlas

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 14 September 2021, 11:21:39

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Silaturahmi tetaplah harus jalan. Bagaimana pun keadaannya. Perkembangan teknologi bisa didayagunakan dengan arif. Bagi yang punya waktu dan bisa berkunjung itu yang terbaik. Bagi yang ada waktu, tapi tidak bisa berkunjung bisa video call. Bagi yang terbatas waktu dan tenaganya, bisa mengunjungi famili dan sejumlah teman melalui pesan WA. Seuntai doa dan ucapan yang tulus kadang penuh kesan. Tidak sedikit yang mengatakan tersentuh. Sebuah kiriman yang tak terduga. Mungkin karena lama tidak bertemu dan ada sebentuk rindu. Namun tetap perlu sekali diingat, jangan sampai media sosial mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

يا أيُّها النَّاسُ أفشوا السَّلامَ، وأطعِموا الطَّعامَ، وصِلوا الأرحامَ، وصلُّوا باللَّيلِ، والنَّاسُ نيامٌ، تدخلوا الجنَّةَ بسَلامٍ

“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Ibnu Majah).

Pada sebuah kesempatan, saya pernah berkirim WA dengan gambar air terjun yang cantik diikuti pesan sederhana: “Mereka yang telah sampai ajalnya meminta waktu lebih. sementara mereka yang masih memiliki waktu, membuat alasan untuk menunda-nunda.” Banyak sahabat yang merespon positif dan merasakan diri ini hadir dalam kehidupan mereka sesaat kemudian. Maklum karena usia, sudah berapa dan tinggal berapa. Apalagi ada gambar air terjunnya. Indah. Damai. Menyejukkan.

َتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا

“Hingga apabila datang kematian kepada salah satu mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)

Akan tetapi, di sebuah kesempatan ada juga sahabat yang tidak menunda-nunda untuk marah ke saya akibat pesan di atas. Seperti sedang mewawancarai calon karyawan, ditanyalah saya ke sana dan ke mari. Setelah didengarkan secara sabar, rupanya ia curiga dengan saya. Dikira saya menyebarkan rahasianya kepada keluarganya, sehingga suasana jadi memanas. Padahal saya tidak melakukan apa-apa. Hanya pernah mendengarkan curahan hatinya pada suatu kesempatan tertentu, di tempat tertentu. Habis itu, pulang ke tempat masing-masing. Rupanya itu yang membuat saya menjadi daftar tersangka penyebab bocornya rahasia. Dan ditutuplah telepon itu dengan suasana kurang harmonis. Beruntung tidak dibanting.

Inilah sekelumit kehidupan kekinian. Di mana kecurigaan, kekakuan, ketakutan sudah menjadi beban berat kehidupan yang digendong orang ke mana-mana. Kalau kemudian, perjalanan kehidupan terasa sangat berat, lebih karena manusia sendiri yang rela menggendongnya ke mana-mana. Tidak hanya seperti sahabat tadi, sayapun pernah menggendong beban-beban berat yang tidak perlu. Ada beban takut masa depan, ada beban khawatir tentang sekolah putera-puteri, ada rasa khawatir ditinggal orang-orang tercinta. Hanya saja, setelah mengunjungi kolam-kolam kejernihan, ada rasa bersalah terhadap masa lalu yang tidak berdosa. Masa lalu yang sebenarnya bersih dan jernih, terpaksa harus kotor karena kesukaan untuk takut, ngotot dan memaksa. Dan ketika sudah lelah, baru mau mengunjungi kejernihan.

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ingatlah, sesungguhnya Kekasih Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus:62-64)

Dalam salah satu kunjungan saya pada kejernihan, selain bertemu indahnya ayat di atas, sebuah buku sederhana berjudul Zen Path To Harmony yang berisi kumpulan gambar, pernah menghadirkan pesan menyentuh. Dengan latar belakang gambar air terjun alami nan indah, buku ini mengutip pendapat Chuang Tzu: Flow with whatever may happen and let your mind be free: Stay centered by accepting whatever you are doing. This is the ultimate. Pertama kali pesan ini terbaca mata, ada keindahan, keteduhan dan ketenteraman yang dibawakan air terjun rupanya. Ketika hidup sudah mengalir dengan apa saja yang mungkin terjadi, kemudian dengan modal tadi manusia belajar “terpusat” dengan menerima proses yang sedang terjadi, tatkala itu juga perjalanan sampai di puncak kehidupan. Dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ

”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah)

Mengalir itu modal pertama. Terpusat pada proses yang sedang terjadi, itu modal kedua. Serupa dengan aliran air di sungai, kehidupan tidak saja terus berjalan. Tetapi yang lebih inspiratif, kelenturanlah yang membuat air bisa melewati setiap rintangan. Demikian juga dengan kehidupan. Ada seorang peneliti yang pernah meneliti ciri-ciri kejiwaan orang yang pernah terkena serangan jantung. Rupanya, lebih delapan puluh persen dari lima ratus responden menunjukkan tanda-tanda hidup yang ngotot dan kaku. Tidak selamanya sikap ngotot dan kaku itu berwajah buruk tentu saja. Banyak kemajuan justru didorong oleh kengototan untuk mencapai tujuan. Hanya saja, kengototan di semua tempat dan semua keadaan, sungguh sebuah kegiatan yang mencelakakan. Lebih-lebih kalau kengototan itu ditujukan ke orang yang kita temui di cermin setiap harinya. Tidak hanya sering memproduksi penyakit, melainkan juga wajah kehidupan kita hadir di diri sendiri maupun orang lain dengan penuh kerut. Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi)

Ada yang menyebut kehidupan mengalir seperti ini sebagai sikap pasrah yang tidak produktif. Dan tentu saja boleh menyebutnya demikian. Akan tetapi, dalam kedalaman kolam kontemplasi, justru dalam mengalir itu sendirilah terletak banyak misteri kehidupan yang tidak bisa diberikan oleh reputasi, harta dan bahkan tahta. Lebih-lebih kalau keadaan mengalir tadi dilengkapi dengan keterpusatan pada proses yang sedang terjadi dan menyongsong hasilnya hanya dengan kendaraan keikhlasan. Sang Guru Bijak menyebutkan, inilah yang kerap disebut dengan pencerahan. Sangat sedikit orang yang pernah sampai di sana. Dan ternyata, harta karun kehidupan terakhir tersembunyi di setiap air terjun tadi.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ ». قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ « عَلَيْكُمْ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremahkan nikmat yang telah Allah anugerahkan -kata Abu Mu’awiyah- pada kalian.” (HR. Ibnu Majah)

Dengan kesadaran seperti ini, tentu saja tidak disarankan untuk meninggalkan pekerjaan, keluarga dan bahkan masyarakat untuk pergi ke air terjun. Air terjun simbolik tadi sebenarnya ada di mana-mana, kita bawa ke mana-mana. Suara-suara jernihnya pun berbisik setiap saat. Namun, melalui kesukaan orang untuk hidup secara ngotot akan hasil, kemudian telinga-telinga kehidupan menjadi tuli akan suara terakhir. Apa lagi kengototan tadi bertemu dengan pikiran yang tidak pernah terpusat di hari ini. Jadilah ia semacam kombinasi yang berujung pada kehidupan tidak nyata. Jauh dari keseharian, jauh juga dari kejernihan.

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Apa saja yang Allâh anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (QS. Faathir: 2).

Saya tidak berani menghakimi kehidupan demikian sebagai kehidupan yang keliru. Hanya merasa sayang saja, kalau harta karun yang demikian berharga, yang tersembunyi di air terjun yang kita bawa kemana-mana, kemudian jadi kekayaan yang terbuang percuma. Lebih dari sekadar sayang karena terbuang, keadaan seperti ini juga yang membuat Kabir pernah tertawa : “Saya tertawa, ikan mati kehausan di dalam air!” Dan agar itu tidak terjadi, ingatlah selalu doa berikut, dari Ibnu ‘Abbad radliallahu ‘anhuma.

اللَّهُمَ قَنِّعْنِي بِمَا رَزَقْتَنِي، وَبَارِكْ لي فِيهِ، وَاخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ غَائِبَةٍ لِي بِخَيْرٍ

“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang qana’ah terhadap rezeki yang Engkau beri, dan berkahilah, serta gantilah apa yang luput dariku dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

The post Mengalir, Terpusat dan Ikhlas appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/mengalir-terpusat-dan-ikhlas/

built with : https://erahajj.co.id