Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Dimensi “Menikah”

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 27 Agustus 2021, 07:34:39

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Menyambung tulisan “Sebuah Taman Bernama Keluarga”, seorang sahabat lama berbaik hati membagi resep rahasia kehidupan yang banyak dicari orang. Resepnya sederhana tapi menghentak. Menyentuh dasar kolam pemahaman pandangan yang tersamar dan terpendam selama ini. Karena, inilah konsep dasarnya. Setidaknya melalui dua pertanyaan stereotip seperti ini.

Pertama, kenapa banyak pernikahan kandas? Tatkala anak-anak muda mencintai lawan jenis, sesungguhnya mereka tidak mencintai pasangannya, tapi mencintai imajinasi tentang pasangannya. Misalnya, seorang pria yang melihat wanita bermata sayu, ia sedang mencintai imajinasi tentang wanita yang lembut, sejuk. Saat pasangannya tidak sesuai dengan imajinasi ini, maka bubarlah kehidupan. Untuk itu, begitu memutuskan menikah, belajar mencintai pasangan apa adanya, bukan mencintai imajinasi Anda.

Kedua, banyak yang mengeluh: Setelah menikah, jiwa saya banyak terbakar oleh kekecewaan dan kemarahan. “Ternyata pasangan saya bohong..!” Kekecewaan pernikahan terjadi karena banyak yang mengira kalau pernikahan adalah pacaran yang disahkan. Padahal, pacaran dan pernikahan adalah dua bab berbeda dari buku kehidupan yang sama. Sebelum tubuh rontok oleh stroke dan serangan jantung, indah kalau belajar melihat pernikahan sebagai taman tempat saling menyirami. Mendengarkan, menerima, memaafkan adalah sebagai air yang bisa disiramkan di taman pernikahan. Ingat, pernikahan bukan pertandingan sepakbola di mana kalah itu musibah. Pernikahan adalah taman jiwa di mana mengalah itu indah.

Oleh karena itu, sahabat tadi mengingatkan; bagi yang mau mencari pasangan hidup atau bermasalah dengan pasangan hidup, ada baiknya mencicipi resep tua rahasia kehidupan yang sederhana namun mendalam. Resep ini sudah dimasak di berbagai tempat dan disajikan oleh ribuan ahli dengan hasil yang tetap sama. Resepnya; “Sebelum menikah dengan orang lain, sebaiknya menikahlah dengan diri sendiri terlebih dahulu”.  Disinyalir, sekarang banyak orang yang tidak jujur dengan diri sendiri. Ditemukan, banyak orang yang belum bisa menikah dengan diri sendiri, tetapi sudah menikah dengan orang lain. Akibatnya bukan kebahagiaan yang diperoleh, justru prahara dan derita yang tiada berakhir. 

Bagaimanakah praktiknya menikah dengan diri sendiri? Itu pertanyaan yang datang kemudian dari banyak pencari. Tatkala sadar, sabar dan terus berhenti mencari, ternyata jawabnya ada di ayat indah ini:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ 

“Dan niscaya sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqoroh 155). 

Jelas banyak kekurangan pada diri yang harus dipenuhi. Salah pemenuhan, fatal akibatnya.

Berdasarkan dalil ini, jangankan menikah dan bekerja sama dengan orang lain, kalau ada kesempatan untuk menikah dan bekerja sama dengan diri sendiri misalnya, saya tidak yakin kalau semuanya akan berjalan amat mulus. Penolakan, perbedaan, ketidakcocokan akan senantiasa ada. Padahal hanya satu badan. Apalagi dua badan.
Berbeda dengan bentuk hubungan bersama orang lain – di mana kalau tidak cocok kita bisa mencari penggantinya – dengan diri sendiri, kita tidak punya pengganti. Tubuh dan jiwa yang kita miliki hanyalah yang kita punya sekarang ini, sejak lahir. Dengan kesadaran terakhir ini, kita tidak punya pilihan menolak, cerai atau berpisah dengan diri sendiri. Satu-satunya pilihan adalah  harus “menikahi” sang diri.

وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً

“Allah menginginkan untuk menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)

Manusia sudah terkondisikan dalam waktu yang sangat lama untuk menerima hanya yang baik-baik saja. Persisnya, hanya mau mempercakapkan yang baik-baik saja. Tidak saja pada saat berbincang dengan orang lain hanya mau disebut baik, saat bercakap dengan diri-sendiri pun hanya mau yang baik-baik saja. Akibatnya, pertumbuhan jiwa di dalam jadi tidak sehat dan tidak seimbang. Ketidakseimbangan di dalam inilah yang muncul ke permukaan dalam bentuk perceraian, anak yang sakit mental, kekerasan, penyakit dan segala bentuk gangguan lain sebagai wujud ketidakseimbangan di dalam. Jika tidak segera disembuhkan, ketidakseimbangan ini bisa bertumbuh liar dan berbahaya. 

Manusia-manusia yang hidupnya kena stress, depresi, masuk rumah sakit jiwa atau bunuh diri sekalian, adalah sebentuk orang yang pernikahannya dengan sang diri gagal. Sebaliknya, pengalaman saya bertutur, kebanyakan orang yang berhasil hidupnya, sering ditandai oleh kemesraan yang mengagumkan dengan sang diri. Kelemahan, kekurangan, bahkan cacat tubuh sekalipun, tidak menjadi penghambat, malah menjadi sarana kemajuan yang mencengangkan.

Meminjam argumennya Iris Barrow dalam “Make Peace With Yourself,” ‘many people suffer all their lives because they do not accept and come to terms with the feelings of anger, frustration, resentment, fear, despair…which they experience‘. Banyak orang menderita sepanjang hidup mereka karena mereka tidak menerima dan datang untuk berdamai dengan perasaan marah, frustrasi, kebencian, ketakutan, putus asa yang mereka alami ‘.

Belajar dari sini, tidak hanya kelebihan dan kehebatan yang harus kita peluk dan terima apa adanya. Kekurangan seperti marah, frustrasi, takut dan sejenisnya sebaiknya kita peluk dan terima sama baiknya. Ini penting, sebab banyak penyakit kejiwaan bersumber pada penolakan terhadap kekurangan-kekurangan terakhir. Untuk itu, saya belajar tidak hanya menjadi pemaaf buat orang lain, tetapi menjadi pemaaf buat diri saya sendiri. Sebagaimana pernah ditulis Catherine Ponder dalam The Dynamic Law of Healing: ‘Forgiveness can unblock whatever has stood between you and your good‘. Sikap pemaaf bisa membuka banyak pagar yang memisahkan diri kita dengan sejumlah kesempurnaan yang telah ada di dalam.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az Zumar: 53-54)

Tidak bisa dibayangkan, kemana larinya keberhasilan, indahnya kehidupan, jika setiap hari kita ingin menghindari masalah dan ‘bercerai’ dengan rasa marah, takut, frustrasi yang datang dari dalam diri. Dengan istri, setelah cerai kita bisa atur untuk tidak bertemu lagi. Dengan marah dan rasa takut, ia akan datang dan datang lagi. Anda boleh memilih sikap apapun, namun saya sedang mendidik diri untuk menikah dan akur dengan diri saya. 

Perjalanan menikah dengan diri sendiri dimulai dengan membuat daftar panjang tentang kesalahan dan hal-hal buruk yang pernah dilakukan. Tentu bukan untuk membangkitkan rasa bersalah. Tapi mengajak para sahabat untuk jujur pada diri sendiri. Kemudian melihat diri sendiri secara utuh dan komplit. Tidak saja punya hal baik, tapi juga punya hal buruk. Tidak saja punya kelebihan tapi juga punya kekurangan. Intinya; “Beri tahu diri Anda secara jujur dan utuh. Ketika kisah di dalam jujur dan utuh, kemudian kehidupan pun bisa bertumbuh jujur dan utuh”.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya (nasuha)” (QS At-Tahrim:8).

Di titik inilah, seseorang diajak untuk menjadi seorang pemberani secara spiritual. Maksudnya, menjumpai dan mengakui sisi-sisi buruk dan sisi gelap di dalam diri. Ketakutan dan keraguan sering menggoda untuk mengatakan tidak (mau bertobat) dalam hal ini. 

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertobatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An-Nuur: 31). 

Tidak terhitung jumlah argumen yang akan dibawa ke permukaan oleh ketakutan dan keraguan. Kendati demikian, teruslah jumpai dan akui sisi-sisi gelap di dalam sebagai bagian perjalanan hidup yang tidak terpisahkan. Gunakan dia sebagai pijakan menuju tempat terang-benderang pencerahan.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).

Begitu seseorang bisa melihat kesedihan dan kebahagiaan sama-sama sebagai pembawa pesan yang mendamaikan, di sana seseorang mulai belajar menikah dengan diri sendiri. Kahlil Gibran dalam Sang Nabi punya pesan spiritual yang indah berkesan: “Tatkala seseorang bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur”. Dengan kata lain, manusia tumbuh serumah baik dengan kebahagiaan dan kesedihan. Kapan saja seseorang bisa memeluk sedih-senang sama mesranya, di sana ia bisa disebut telah menikah dengan diri sendiri. Bermodalkan pernikahan di dalam yang indah, jauh lebih mudah untuk bisa memiliki pernikahan di luar yang amat sangat indah. Tetapi sebaliknya, kegagalan di dalam, akan memicu kegagalan-kegagalan lain di luar. Dan kepada Allah-lah kita minta pertolongan.

إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)

The post Dimensi “Menikah” appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/dimensi-menikah/

built with : https://erahajj.co.id