Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Bangga, Generus LDII Raih Award di Konferensi Bergengsi Jepang

Kategori : LDII News, Iptek, Ditulis pada : 10 Maret 2021, 07:55:25

Jakarta (10/3). Dyah Sri Utami warga LDII asal Tangerang menerima penghargaan pada konferensi Japanese Geotechnical Society (JGS) pada Kamis (4/2) Februari lalu. Ia memenangkan penghargaan dengan judul tulisan ‘Residual Strength of Diatomaceous Soft Rock’ yang  membahas tentang karakteristik batuan lunak.

“Menang karena penyajian materi serta penyampaiannya yang dinilai juri bagus, kemudian juga keaktifannya menjadi anggota di dalam konferensi ini,” cerita Tami saat di wawancara lewat sambungan telepon, Jumat (5/3) lalu.

Perempuan yang biasa dipanggil Tami itu merupakan mahasiswa pascasarjana Teknik Sipil di Tokai University, Jepang. Ia menjadi salah satu dari 24 penerima penghargaan Matsumae Shigeyoshishou Award di konferensi yang juga dihadiri para peneliti termasuk para mahasiswa S2 lain yang sedang melakukan penelitian.

Konferensi Japanese Geotechnical Society (JGS) ini merupakan ajang perkumpulan para ahli bidang teknik sipil di Jepang yang mempromosikan keahlian teknis dan kegiatan penelitian di bidang teknik geotek dan biasanya digelar sekali atau dua kali dalam setahun.

“Pada konferensi JGS ini mengarah pada desain, planning, structure, dan grown permukaan tanah yang mana ada peneliti yang meneliti bagaimana membuat program yang bagus dari berbagai divisi, maka dari itu konferensi ini memiliki 17 sesi, dimana setiap sesi memiliki tema yang berbeda, kalau saya sesinya itu mengenai batuan lunak , ada lagi yang mengenai material, pondasi, atau yang berhubungan dengan grown geotechnical,” katanya.

Ia menambahkan bahwa partisipasinya atas acara yang digelar di wilayah Kanto itu berdasarkan informasi yang diberikan profesornya. Matsumae Shigeyoshishou Award ini adalah penghargaan dari universitas, diberikan kepada mahasiswa berprestasi di setiap fakultas atau departemen. Nama award itu sendiri diambil dari nama pemilik Tokai University yang bernama Shigeyoshi Matsumae. Dan juri penilai dalam ajang ini biasanya profesor dari setiap universitas di Jepang. 

“Saya kurang begitu mengetahui ada berapa juri, tetapi pada saat presentasi di dalam ruangan itu ada satu juri, profesor dari Universitas Saitama, Yota Togashi, serta chairman, Kiyoshi Yamada,“ ujar Tami.

Dyah Sri Utami saat menerima award di Konferensi JGS (dok.pribadi)

“Saya meneliti lebih kepada kekuatan dari nilai sisa yang dimiliki batuan tersebut, misalnya seseorang memukul sesuatu dengan kencang, setelah memukul itu dia memiliki kekuatan sisa atau kekuatan minimum jadi saya membuat rekomendasi kalau membuat sebuah bangunan diatas tanah itu lebih baik menggunakan kekuatan minimum,” Tami menjelaskan bahwa hal yang perlu diketahui diseluruh dunia ini kebanyakan di bawah tanah itu batuan lunak.

Sebelum membuat suatu bangunan, terlebih dahulu harus diketahui karakteristik batuan dibawahnya untuk meminimalisir kesalahan yang bisa membuat bangunan tidak aman. “Jadi kalau misalnya ingin membuat bangunan rumah itu butuh pondasi, pondasi ini kan ditanamkan ke dalam tanah dan itu secara langsung akan bertemu dengan batuan lunak, kalau misalnya tidak mengetahui karakteristik dari batuan lunak itu sendiri, misal kesalahan perhitungan atau teori itu bisa membuat bangunan itu tidak aman,” kata Tami lagi.

Ia menambahkan bahwa ia memodifikasi sebuah program yang kemudian dia memasukkan nilai kekuatan sisa ditambah sedikit rumus-rumus dari program tersebut. Tujuannya mempermudah masyarakat untuk mendapat hasil test dalam waktu singkat dengan menggunakan program ini, tinggal memasukan nilai sisa  itu akan terlihat hasil nya hampir sama dengan hasil dari test laboratorium.

Tami melakukan penelitian itu selama 6 bulan untuk mendapatkan data dengan tim yang beranggotakan 3 orang, dirinya dan dua orang adik kelas tingkat 4 atau mahasiswa S1. 

“Sebelumnya program tersebut berasal dari konferensi JGS, tetapi menurut saya dan profesor saya program ini belum detail dan hasilnya kurang bagus, kemudian saya modifikasi sedikit perubahan pada equation atau rumus agar hasil eksperimen dengan hasil program sejalan, lalu saya rekomendasikan ke konferensi ini dan diterima. Mengenai program ini akan dipatenkan atau tidak saya belum mengetahuinya,” kata Tami.

Tami terharu, karena selain meraih penghargaan dari konferensi tersebut, ia juga menerima penghargaan mahasiswa berprestasi dari kampusnya. Terlebih lagi, ia adalah salah satu warga negara asing (WNA) berjilbab di Jepang yang diminta berpidato di depan Rektor Tokai University, Kiyoshi Yamada dan beberapa orang penting lain di universitas itu. Hal itu merupakan suatu kehormatan bagi dirinya.

Menempuh Pendidikan Master Tanpa Beasiswa

Perjalanan ia bisa menempuh pendidikan master di Jepang itu terinspirasi dari seniornya, Arwin yang melanjutkan kuliah di Universitas Tokai tanpa jalur beasiswa. Seniornya itu kini menjadi dosen di universitas tersebut dan Arwin sering berbagi pengalamannya berkuliah di Jepang tanpa beasiswa juga ada hal lainnya.

“Sebenarnya ada rasa ketakutan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Sanggup atau enggaknya, tetapi orang tua terus memotivasi dan saya juga mencari informasi terkait cara hidup di Jepang  tanpa beasiswa. Memang sih pahit banget, saya tidak yakin bisa atau tidaknya dari situ tapi saya memaksakan diri untuk yakin dan menjalani kalau ingin maju,” ceritanya.

“Saya memulai dengan mengambil kuliah Bahasa Jepang disana, lalu saya mulai menjalin komunikasi dengan profesor yang mau saya apply jurusan S2-nya. Saya kuliah Bahasa Jepang itu selama setahun enam bulan, tetapi sebelumnya di Indonesia saya juga belajar Bahasa Jepang selama 2 bulan,” Tami menjelaskan. 

Selain kuliah, ia mengambil arubaito (magang) untuk biaya hidup serta biaya kuliah di Jepang. Tami kuliah mulai jam 11 siang sampai jam 6 sore, lalu dilanjutkan baito dari jam 7 malam sampai jam 10 malam. Kegiatan magang itu dilakukan selama 28 jam per minggu, mulai dari Senin sampai Rabu selama 3 jam, Kamis sampai Jumat dan Minggu selama 5 jam per hari. Tami juga bisa juga mengambil lebih dari 28 jam di hari libur seperti liburan musim semi.

“Saya baito di bagian sortir barang selama 3 tahun ini,” kenang Tami. “Pelajaran hidup yang saya dapatkan di negara Jepang adalah kemandirian, menghargai waktu, berusaha keras, atau berjuang kalau ingin mendapatkan uang,” lanjutnya.

Tami mengatakan bahwa orang tuanya yang selalu memberikan motivasi hingga sekarang. Ketika ia memiliki masalah di Jepang seperti keuangan dan lain-lain ia selalu curhat pada ibunya, dan ibunya adalah orang yang selalu menasehati dia walaupun ia tidak mengetahui kondisi Tami sebenarnya di Jepang.

“Apa yang ibu katakan selalu mujarab. Bapak saya juga, walaupun tidak seperti ibu saya yang banyak berbicara, tetapi bapak saya selalu ingin tahu kondisi saya di Jepang sana, Saya selalu berkomunikasi dengan orang tua setiap harinya,” kata Tami.

“Suksesnya seseorang itu karena orang tua kita mendoakan kita, jangan pernah menyakitinya, ketika ada masalah, tidak apa-apa diceritakan kepada orang tua, karena mereka lebih mengerti kita, lebih banyak pengalaman walaupun kita tidak bisa memberikan yang terbaik tetapi setidaknya menunjukkan kita sudah berusaha keras,” katanya.

Ia berpesan kepada generasi muda LDII dalam menggapai cita-cita agar jangan mudah menyerah dan jangan pernah merasa tidak percaya diri dan berharap generasi LDII harus mempunyai mutu dan misi.

“Seperti mengatakan saya bisa, yang harus diyakini kita bisa, tidak boleh berpikiran ‘saya pasrah, lihat nanti saja deh’, kalau ingin maju, tidak boleh bersikap ‘bagaimana nanti’ terutama ketika meminta restu orang tua,” pungkasnya. (Yuli/LINES)


Sumber berita : https://ldii.or.id/bangga-generus-ldii-raih-award-di-konferensi-bergengsi-jepang/

built with : https://erahajj.co.id