Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Dikisahkan dengan indah dalam Kitab Muqaddimah Sunan Ad-Darimi, seorang yang telah berbuat banyak kesalahan semasa jahiliyah, kemudian menjumpai luhurnya Islam. Ditambah lagi dengan hangatnya pribadi-pribadi di sekeliling Rasulullah yang menyentuh sendi-sendi hati, sehingga bertambah kokoh jejak langkah keimanan.
أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ النَّضْرِ الرَّمْلِيُّ عَنْ مَسَرَّةَ بْنِ مَعْبَدٍ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَرَامِ مِنْ لَخْمٍ عَنْ الْوَضِينِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ وَعِبَادَةِ أَوْثَانٍ فَكُنَّا نَقْتُلُ الْأَوْلَادَ وَكَانَتْ عِنْدِي ابْنَةٌ لِي فَلَمَّا أَجَابَتْ وَكَانَتْ مَسْرُورَةً بِدُعَائِي إِذَا دَعَوْتُهَا فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَاتَّبَعَتْنِي فَمَرَرْتُ حَتَّى أَتَيْتُ بِئْرًا مِنْ أَهْلِي غَيْرَ بَعِيدٍ فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَرَدَّيْتُ بِهَا فِي الْبِئْرِ وَكَانَ آخِرَ عَهْدِي بِهَا أَنْ تَقُولَ يَا أَبَتَاهُ يَا أَبَتَاهُ فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَكَفَ دَمْعُ عَيْنَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ جُلَسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْزَنْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ كُفَّ فَإِنَّهُ يَسْأَلُ عَمَّا أَهَمَّهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ أَعِدْ عَلَيَّ حَدِيثَكَ فَأَعَادَهُ فَبَكَى حَتَّى وَكَفَ الدَّمْعُ مِنْ عَيْنَيْهِ عَلَى لِحْيَتِهِ ثُمَّ قَالَ لَهُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ وَضَعَ عَنْ الْجَاهِلِيَّةِ مَا عَمِلُوا فَاسْتَأْنِفْ عَمَلَكَ
Telah mengabarkan kepada kami Al Walid bin An Nadlr Ar Ramli dari Masarrah bin Ma’bad -dari Bani Al Harits bin Abu Al Haram dari Lakhmin, dari Al Wadliin bahwa sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata; “Wahai Rasulullah, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah, penyembah berhala dan kami membunuh anak-anak kami, ketika itu kami mempunyai anak yang senang apabila saya memanggilnya. Suatu hari saya pun memanggilnya dan dia langsung menyahut dan mengikuti saya. Ketika saya sampai di sebuah sumur keluarga, saya langsung memegang tangannya dan saya ceburkan dia ke sumur, itulah akhir kebersamaan saya dengannya. Dia memanggil ‘wahai ayahku, wahai ayahku.” Rasulullah pun menangis sampai air matanya bercucuran. Lalu seseeorang yang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ berkata kepada laki-laki tersebut; “Kamu telah membuat Rasulullah sedih.” Rasulullah ﷺ berkata kepada orang tersebut; “Biarkan dia karena dia bertanya tentang sesuatu yang penting yang dihadapinya,” kemudian Rasul berkata kepada laki-laki tersebut; “Ulangi lagi cerita kamu tadi,” lalu dia pun mengulangi ceritanya dan Rasul menangis lagi sampai bercucuran air matanya, membasahi jenggotnya. Lalu beliau bersabda, “Allah SWT telah menghapus dosa-dosa yang dilakukan pada masa jahiliyah oleh karena itu mulailah perbuatan kamu dengan lembaran baru yang bersih.”
Kisah menarik lainnya adalah milik sahabat Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib. Sahabat yang penuh ta’dhim kepada Rasulullah itu terkejut luar biasa. Walau memang dia dikenal sebagai ahlul quro – ahli baca qur’an, namun tetap merasa kecil dihadapan junjungannya. Dan ketika Nabi ﷺ menangis mendengar bacaannya, semakin membuat gundah hatinya. Bukan hanya karena isinya, tapi juga karena vibrasi lantunan suaranya. Menusuk ke relung hati, mengiris dan mengetuk kemurniannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “اقْرَأْ عَلَيَّ” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنزلَ؟ قَالَ: “نَعَمْ، إِنِّي أُحِبُّ أَنَّ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي” فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} قَالَ: “حَسْبُكَ الْآنَ” فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَان
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ berkata kepadaku, “Bacalah Al Qur’an untukku.” Maka aku menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al Qur’an untukmu, bukankah Al Qur’an diturunkan kepadamu?” Nabi ﷺ bersabda, “Aku suka mendengarnya dari selainku.” Lalu aku membacakan untuknya surat An Nisaa’ hingga sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka semua itu.” (QS. An Nisa’: 41). Beliau berkata, “Cukup.” Maka aku menoleh kepada beliau, ternyata kedua mata beliau dalam keadaan bercucuran air mata.” (HR. Bukhari)
Lebih menarik lagi adalah dinamika menangis di zaman sekarang ini. Di dunia ini ada yang sama, setiap kelahiran ditandai dengan tangisan. Ia seolah menjadi pertanda, bahwa tangisan adalah sebuah bahasa. Sayangnya, banyak orang yang berusaha untuk menghilangkan bahasa tangis ini. Karena dianggap lemah, tak berguna dan negasi lain yang merendahkannya. Dan memang begitu kenyataannya. Di banyak kepala, bagaimana bisa menampakkan ketegaran tanpa air mata. Banyak orang tua melarang anaknya menitikkan air mata. Bahkan ketika sakit pun, kalau bisa jangan menangis. Dan masing-masing diri bisa bercermin, kapan terakhir kali menangis, menitikkan air mata. Itu keliru.
Jangan menganggap sepele urusan menangis. Sebagai bahasa bawaan, dia akan terus ada. Tidak bisa dihilangkan. Mungkin hanya berubah tempat dan peruntukannya. Ada menangis karena bahagia, juga bisa karena kesedihan yang lama. Muncul di waktu khusus atau tempat tertentu dengan nuansa yang berbeda. Namun, memang ada juga pribadi yang gampang menangis. Orang menyebutnya cengeng, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Kekurangan manusia yang mudah meneteskan air mata memang banyak, hanya saja ia memiliki sebuah kelebihan yang sulit dimiliki orang kebanyakan, yakni kepekaan. Ada semacam jalur khusus yang membuatnya mudah terhubung secara lebih dengan vibrasi-vibrasi yang lebih tinggi. Bagi siapa saja yang sering merasakan vibrasi rasa, ia memiliki dua ciri : mudah menyentuh dan mudah tersentuh. Walau berbeda, dua contoh di atas relatif mewakilinya.
Air mata bukan wakil kelemahan. Juga bukan manifestasi lelehan kecengengan, ia sebentuk mutiara kejernihan. Ada air ketulusan dan mata keterhubungan. Ada aliran empati dan hembusan kedamaian. Ia menetes tidak mewakili kesedihan, tetapi perpanjangan tangan dari getaran-getaran rasa. Yang murni dan penuh penghambaan. Problemanya sekarang, masihkah kita punya getaran-getaran rasa dan kepekaan yang memotivasi vibrasi-vibrasi jiwa yang pada akhirnya kita menjadi makhluk yang mudah menyentuh dan mudah tersentuh? Dan jika sudah memiliki kualitas hati yang mudah tersentuh, maka tidak butuh bantuan orang lain untuk menyentuhnya. Bahkan dalam hal ini, menangis menjadi berkah yang begitu sempurna bagi pemiliknya. Karena kekuatan vibrasinya sanggup meluruhkan arogansi, melebur menjadi satu dengan dzikir dan doa di kala sepi-sunyi, sehingga Allah memberikan naungan di hari kiamat nanti.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi ﷺ, Beliau ﷺ bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”(HR Al-Bukhari)
Sekarang kita memahami, bahasa menangis muncul sebagai kekuatan, menginduk hadits keutamaan 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, dimana salah satunya adalah,“Seorang lelaki yang (dzikir) mengingat Allah dalam keadaan sunyi sendirian lantas berlinang air matanya.” Mungkin kita semua belum ke sana, tetapi kesempatan itu tetap ada. Masih terbuka dan memungkinkan mencapainya. Sebab menangis adalah bahasa bawaan jiwa. Tidak perlu memaksa diri, sebab dia akan hadir sendiri seiring kepekaan hati yang semakin tinggi di mata Ilahi. Walau mungkin tangisan itu tanpa suara, hanya air mata.
The post Air Mata appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/air-mata/