Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Sehasta

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 12 Januari 2023, 08:50:07

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Semakin jauh gerak kaki ini melangkah, semakin banyak keindahan kehidupan yang terkuak. Satu per satu hadir mengalir, mengisi telaga jiwa yang dahaga. Berbalut warna-warni yang menakjubkan, berpadu asri dengan jejak yang ditinggalkan. Saling melengkapi dan mengisi, hingga semua tampak berguna di sana-sini. Tanpa terkecuali. Hanya saja, terkadang dua buah bola mata ini memandang dengan sudut yang berbeda. Tak lain karena dorongan asumsi dan logika. Banyak mata yang berjumpa kenyataan tidak sesuai dengan asumsi semula. Atau menemukan kejadian yang tidak bisa diterima oleh logika. Hilanglah semua karunia.

Sadar bahwa tidak semua orang bisa menyisihkan asumsi dan logika, maka diwajibkan untuk terus belajar. Apa saja, terutama rahasia kehidupan yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Tapi berserakan di sekitar. Sampai paham tujuannya, sampai mengerti untuk mengantisipasi. Agar tidak sembrono tetapi terus berhati-hati, terutama di saat-saat akhir dan kritis (injury time). Caranya, dengan menggali ke dalam dan mengaca keluar untuk lagi-lagi, bekal mengakar ke dalam. Sebab di atas asumsi dan logika berlaku hukum atau ketentuan. Dan di setiap hukum ada pengecualian sebagai bentuk kesempurnaan. Di sana ada yang berkuasa mengatur segalanya, yaitu Sang Maha Pencipta.

Dalam dialog yang terang-benderang dari riwayat hadits berikut ini, semoga menjadi sumber cahaya datangnya pencerahan. Yang tadinya baik, tampak baik, belum tentu berakhir baik. Yang tadinya jelek dan tampak jelek, belum tentu akhirnya jelek. Semua bisa meruntuhkan asumsi, menggugurkan logika. Hanya kesempurnaan iman yang terus punya asa.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ ‏ “‏ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ‏”

Dari Abdullah, dia berkata, bercerita kepada kami Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan – “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (HR Al-Bukhari)

Haru rasanya, membaca pencari kebaikan berakhir tragis berkalang penderitaan. Kebaikan yang telah dikerjakan di awal tidak bisa menolong. Hanya semacam pemanis belaka. Yakin, tidak ada yang bercita-cita pengin mengikuti alur cerita ini. Namun apa daya, itulah kekuatan hukum kehidupan. Sebaliknya, pasti banyak yang pengin seperti scenario yang kedua. Sejelek apapun yang dikerjakan di awal tidak masalah, yang penting berkahir dengan sempurna. Ini adalah semacam fenomena pencilan, pengecualian yang memang jarang terjadi karena berbeda dengan ketentuan pada umumnya. Namun itu adalah peluang dengan kemungkinannya yang pasti. Pasti ada dan pasti terjadi walaupun tidak banyak jumlahnya.

Bagi mereka yang berotak encer gampang saja mencernanya. Namun banyak yang sakit kepala, semacam migraine, yang menyerang keyakinan dalam hati; apakah bisa mempertahankan keimanan ini sampai akhir? Mengambil ibarat rutinitas keseharian, para guru bijak sering memberikan gambaran situasi ini seperti orang makan. Jika dari menu di hidangan piringnya memulai makan dengan yang enak-enak dulu, terus terakhirnya yang pahit, maka kesimpulan akhirnya makanannya tidak enak. Berbeda kalau yang pertama-tama yang dimakan yang tidak enak dan diakhiri dengan yang enak, maka ending-nya dikatakan enak. Singkat, jelas, padat. Namun simak juga jembatan pemahaman yang menyentuh sisi lain sanubari sehingga timbul pencerahan indah di bawah ini, sebuah kisah happy ending.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ ‏.‏ فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ ‏.‏ فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ ‏.‏ وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ ‏.‏ فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ ‏.‏ فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ ‏”‏

Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.” Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.” Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut, jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat (sehasta) dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dibawa oleh malaikat rahmat.” (HR Muslim)

Menerawang jauh dari pendalaman di atas, mengingatkan saya dengan para kreator seni yang menumpahkan idenya dalam slogan-slogan yang tampak bahagia. Muda foya-foya, tua hura-hura, mati masuk surga. Inilah gaya yang banyak orang suka. Saya pun setuju sebenarnya, tapi tidak dengan kenyataannya. Karena sunnatullah masih berjaya. Tetap harus hati-hati dan terus berusaha yang terbaik di jalan kebenaran dan kedamaian, sehingga berakhir dengan baik juga.
Sayangnya, semua kita tidak tahu akan seperti apa akhir hidup ini. Itulah misteri.

Tentu semua berharap akhir yang baik. Dimulai dengan berusaha terus-menerus berbuat kebaikan, menabur kebaikan di mana saja, bahkan menabung kebaikan yang banyak dengan harapan dimatikan sesuai dengan tabungan itu dan menuai kebaikan pada akhirnya. Jangan sampai kebalikan dengan fragmen kehidupan di atas, guncangan kecil di akhir kehidupan yang hanya berjarak sehasta namun menghancurkan semuanya. Semoga saja Allah selalu menjaga, itu tidak terjadi. Oleh karenanya, jagalah terus keimanan ini, peliharalah selalu cahaya Allah hingga tetap terang terus sampai nanti. Janji Allah haq, hanya manusia yang terkadang tak sabar menanti. Kebaikan tetaplah kebaikan, walau kebaikan dan kejelekan kadang beda tipis – hanya sehasta, tetapi kebaikan mampu menyelamatkan jiwa selama-lamanya.

The post Sehasta appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/sehasta/

built with : https://erahajj.co.id