Jakarta (31/7). Program Kampung Iklim (ProKlim) merupakan program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Program ini bertujuan meningkatkan keterlibatan masyarakat, melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurun emisi gas rumah kaca (GRK), serta memberikan pengakuan terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Ini adalah program yang memang lebih diutamakan pada komunitas masyarakat, bagaimana masyarakat bisa meningkatkan kontribusinya dalam menghadapi perubahan iklim ini,” ujar Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK pada saat menjadi pembicara dalam Webinar ProKlim yang digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LDII melalui Departemen Litbang, Iptek, Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Lisdal), Sabtu (30/7).
Sebelumnya, perubahan iklim menjadi permasalahan utama yang memberikan dampak pada siklus hidrometeorologi (siklus hidrologi, curah hujan, kelembaban, temperatur, angin) yang mengakibatkan peningkatan cuaca ekstrim dan sulit ditebak.
“Beberapa lokasi seperti di Jakarta, Kalimantan, Jawa, bahkan ada lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini tidak pernah terjadi badai, ternyata terjadi badai, dan rupanya badai itu selama delapan jam, angin bertiup keras sekali, ini yang menyebabkan kita mengalami masalah kerusakan dimana-mana,” ujar Tantri.
Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya akumulasi dari emisi GRK, yaitu karbodioksida (CO2), utamanya, dan metana (CH4). Oleh karena itu, dampak dari perubahan iklim seperti: kebakaran hutan, kekeringan, banjir, tanah longsor, gelombang pasang, abrasi, dan peningkatan air laut (Sea Level Rise) ini perlu diantisipasi.
Dalam hal ini komitmen mitigasi terhadap perubahan iklim, menurut UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni serangkaian kegiatan dalam upaya menurunkan tingkat emisi GRK sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Sedangkan untuk komitmen adaptasi, yakni upaya yang dilakukan dalam meningkatkan ketahanan terhadap ekonomi, sosial dan sumber penghidupan, serta ekosistem dan lanskap. Selain itu, menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk didalamnya keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim.
“Jadi memang Indonesia ini, untuk adaptasi bertujuan untuk bagaimana menciptakan masyarakat dan ekosistem yang berketahanan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim untuk sampai tahun 2030, komitmen kita di dalam emisi,” ujarnya.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyampaikan bahwa implementasi dari low carbon, dan ketahanan iklim memerlukan fokus yang seimbang pada proses koordinasi antara pemerintah dan stakeholder, serta mempertimbangkan isu-isu transisi menjadi kegiatan ramah lingkungan, gender, antar generasi, vulnerable group (perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, lansia), komunitas adat, dan komunitas lokal.
Sama halnya, Koordinator Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas LHK Provinsi Jawa Tengah Ninik Damiyati mengungkapkan bahwa, kejadian bencana di daerah Jawa Tengah didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Dilihat dari fenomena bencana di Jawa Tengah, seperti: longsor, kekeringan, ini terjadi hampir setiap tahun.
“Dari sekitar 1.895 kejadian bencana di Jawa Tengah itu lebih dari 80 persen merupakan bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi air, tata air, siklus air, dan juga hidrogen,” ujar Ninik.
Sebagian dari desa di Jawa tengah rentan terhadap perubahan iklim. Meskipun kerentanannya dapat dikategorikan sedang, tetapi juga dapat meningkat menjadi kategori sangat tinggi.
“Ada sekitar 8.000 desa dengan kerentanan sedang, dan dengan kerentanan sangat tinggi ada 26 desa,” ungkap Ninik.
Pembentukan kampung iklim ini terjadi di tahun 2016 hingga saat ini, dimana Jawa tengah termasuk salah satu provinsi yang giat melakukan kegiatan ProKlim ini serta aktif dalam mensosialisasikannya dikarenakan masyarakat sadar bahwa lingkungan di daerah tersebut rentan terhadap perubahan iklim.
Dapat dilihat dari aksi dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilaksanakan pada program Kampung Iklim itu nyatanya sudah dapat menurunkan emisi GRK.
“Kontribusi dalam penurunan emisi GRK itu terbesar dari sektor kehutanan. Ada 4 sektor di dalam ProKlim ini, diantaranya; sektor kehutanan, pertanian, limbah, dan energi,” ujar Ninik.
Selanjutnya, ia menjelaskan beberapa strategi pengembangan pada ProKlim di daerah Jawa Tengah, antara lain; menyusun dukungan kebijakan, pendampingan dan penguatan kapasitas, membangun kemitraan, kolaborasi ProKlim dengan program lainnya, peningkatan ekonomi produktif dari kegiatan ProKlim, serta mampu mendorong terbentuknya jejaring ProKlim.
“Menurut kami ini adalah salah satu program yang bagus, perlu didukung, untuk kemudian meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim,” ungkap Ninik.
Ia berharap lingkungan menjadi lebih, serta masyarakat juga dapat bertahan terhadap perubahan iklim. Karena, perubahan iklim ini tidak dapat dihindari pada kehidupan yang dijalani saat ini (Dita/Yuli).
The post KLHK: ProKlim Meningkatkan Ketahanan Masyarakat terhadap Dampak Perubahan Iklim appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/klhk-proklim-meningkatkan-ketahanan-masyarakat-terhadap-dampak-perubahan-iklim/