Jakarta (23/2). Bukan suatu hal yang mudah dalam mengolah lahan tidak produktif menjadi sebuah wilayah penghasil beras terbesar, apalagi banyak faktor penghambat dan tantangan yang membutuhkan sebuah tekad dan konsistensi sehingga menjadi wilayah penghasil beras terbesar keempat nasional.
Desa Karangsari, sebuah daerah transmigrasi yang terletak di Kecamatan Karang Agung, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Belum ada akses lain yang lebih cepat untuk menjangkau desa ini. Kami membutuhkan waktu dua jam perjalanan menggunakan _speed boat_, berangkat dari dermaga jembatan PU Jalan Tanjung Api-api.
Dilihat dari keadaan geografisnya, Desa Karangsari dikelilingi perairan, tidak aneh jika yang terlihat di desa ini banyak jalur sungai-sungai kecil yang tersusun membatasi antar desa. Berbagai jenis burung menjadi hiburan mata saat melintasi jalur sungai musi menuju desa yang memiliki luas 1.240 hektare terdiri dari 120 hektare pemukiman, 320 hektare perkebunan, dan 800 hektare pertanian.
Dibalik keberhasilan tumbuhnya potensi pertanian yang menyejahterakan warga desa Karangsari, ada sosok lelaki yang memiliki gagasan dalam membangkitkan semangat para petani transmigran untuk berjuang hingga kesejahteraan menjadi milik mereka. Dialah Mohammad Zaka (47), seorang putra transmigran kelahiran Bojonegoro yang berhasil menggerakkan potensi pertanian di daerah ini.
Sejak tahun 2009 awal menjabat sebagai Kepala Desa, Mohammad Zaka sekaligus Ketua PC LDII Karang Agung Ilir sudah mulai memperbaiki pertanian di desanya, yaitu memperbaiki sistem irigasi dan normalisasi saluran. “Karena dengan tidak lancarnya saluran mengakibatkan tingginya pirit sehingga berdampak gagal panen,” katanya.
Selain itu, 19 Kelompok Tani yang dibentuk juga diberikan penyuluhan untuk menambah pengetahuan para petani dengan mendatangkan beberapa penyuluh pertanian. Sementara untuk mengatasi kelangkaan pupuk, para petani membuat pupuk organik sendiri yang diberi nama POC (Pupuk Organik Cair).
Selain sebagai penggerak pertanian wilayah Desa Karang Sari, Zaka juga menjadi penggerak dan pelopor pertanian warga LDII Kecamatan Karang Agung Ilir yang mencakup enam desa dengan luas lahan mencapai 900 hektare hingga 1.000 hektare.
Dia sangat bersemangat mengajak dan mendorong warga Karang Sari dan warga LDII untuk terus memaksimalkan potensi pertanian dan perkebunan yang ada di Desa Karang Sari dan Desa lainnya di Kecamatan Karang Agung Ilir secara umum dengan penggunaan tekologi tepat guna.
“Terimakasih juga adanya bantuan TR4 dari pemerintah sehingga lebih efisien dan mempermudah dalam pengolahan lahan sehingga hasilnya lebih meningkat. Bahkan kini banyak yang dari Jawa ingin kembali ke Karang Sari,” ujar Zaka.
Karena Desa Karang Sari merupakan daerah pertanian pasang surut dengan cara tanam padi menggunakan cara TABELA (Tabur Benih Langsung/ditabur) yang dalam satu tahun bisa dua kali tanam, Zaka juga berupaya melakukan peningkatan Indeks Pertanaman (IP) dari IP 100 menjadi IP 200 dan saat ini dalam satu hektare-nya petani mampu menghasilkan 5-8 ton/ha gabah kering panen dengan harga Rp 3.400/Kg.
Keberhasilan Zaka juga tak terlepas dari perjuangan ayahnya, KH. Mahfudz Sholeh yang juga selaku Dewan Penasehat DPW LDII Sumatera Selatan. Bermula pada tahun 1985 saat menjadi ketua rombongan program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera sebanyak 44 KK. “Berangkat dari Sukoharjo pada 25 Desember 1985 dan sampai di Karang Agung pada 10 Januari 1986,” katanya.
Perjuangan Mahfudz dan rombongan tidaklah mudah, dua tahun setelah transmigrasi satu persatu rombongannya kembali ke Jawa hingga mencapai 24 KK. “Dulu daerah ini belum bisa ditanami dan tidak menghasilkan, apalagi yang datang memang rata-rata bukan petani, tapi buruh pabrik sehingga akibatnya tidak kerasan dan pulang,” tambahnya.
Pada tahun 1998 sektor pertanian yang mereka rintis mulai terlihat potensinya walau jauh dari kata berhasil. Kini pada 2021 ini, Karang Sari memiliki potensi pertanian yang luar biasa dan masyarakat juga semakin sejahtera. Selain itu, Karang Sari juga merupakan salah satu desa penghasil kelapa yang mampu menyuplai pasar lokal Sumsel bahkan ekspor ke Thailand.
Siapa sangka, Desa Karang Sari yang konon dulunya banyak transmigran tidak betah bermukim, bisa mengembangkan dan membuka lahan hingga mereka pulang kembali ke daerah asal, kini desa yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.783 jiwa itu menjadi primadona petani karena lahannya kini menjadi lautan padi yang tumbuh subur hingga menjadi penyokong lumbung pangan Sumatera Selatan dan nasional.
“Bahkan, dua sampai tiga tahun belakangan sudah 30 persen rombongan kami telah selesai melaksanakan ibadah haji,” katanya.
Masih ada kendala yang tersisa. Saat ini problem yang dihadapi petani Karang Sari adalah belum ada akses yang lebih cepat untuk mendistribusikan hasil pertaniannya, Zaka yakin Pemerintah akan segera membangun infrastruktur seperti dermaga dan jalur akses distribusi yang dapat memangkas waktu tempuh pendistribusian hasil pertanian Desa Karang Sari.(fredi/LINES)
Sumber berita : https://ldii.or.id/setelah-35-tahun-karang-sari-jadi-penghasil-beras-terbesar-di-sumsel/