Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Kisah Jarum

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 16 Maret 2021, 16:22:46

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Saya selalu tersentuh dengan firman Allah yang satu ini. Selain dari muatannya, ada kenangan indah juga dari ustadz yang mengajarkan waktu itu. Kala masih berbaju SMA. Nandes di hati. Dan sampai sekarang pun masih asyik kala mengulangnya dengan sebuah clue: jarum. Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka sombong dari ayat-ayat tersebut, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.” (QS Al-A’raf:40).

Nah, ketika beranjak ke kehidupan selanjutnya, saya tersentuh lagi ketika mendengar kisah jarum dari tokoh sufi Nasrudin. Pelajarannya sungguh menghentak dan mendobrak sebuah kedunguan pemahaman. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tapi selama sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.

Tetangganya bertanya, “Jarumnya jatuh di mana?”.

“Jarumnya jatuh di dalam,” jawab Nasruddin.

“Kalau jarum jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?”  tanya tetangganya.

Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab,  “Karena di dalam gelap, di luar terang.”

Memasuki zaman millennium, ada dua cerita menarik yang dituturkan oleh sahabat yang tinggal di negeri kangguru. Pertama, kisah seorang pengajar di perguruan tinggi di Melbourne Australia, yang bertanya kepada mahasiswanya di sebuah kelas; “Any one of you who have religion?” (Siapa yang beragama di sini?). Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir orang. Itu pun semuanya berwajah Asia. Kedua, cerita tentang tempat suci yang harus dijual karena tidak punya umat lagi. Sahabat muslim yang tinggal di sana telah berhasil mengubah gereja menjadi sebuah masjid.

Lain lagi cerita kawan yang rajin melangkahkan kaki dan menghirup udara benua biru – Eropa. Dalam oleh-olehnya dia berpesan, kala bisa berjalan-jalan ke Eropa suatu saat nanti, jangan sekali-kali bertanya; ‘What is your religion?’ (agama Anda apa?) Karena jawabannya tidak mengenakkan. Biasanya langsung dijawab dengan menatap sinis sang penanya lalu berkata; “Stupid question.” (pertanyaan yang bodoh).

Dari salah satu segi terlihat, agama, di Barat dan di belahan dunia lain pada umumnya, lebih dipandang sebagai beban dibandingkan identitas yang membahagiakan. Dan pada saat yang sama, ada kecenderungan lain yang layak direnungkan. Di satu sisi ada rasa dahaga manusia akan kedamaian. Terutama karena materialisme di Barat sudah menunjukkan batas-batas kejenuhannya. Bahkan menghasilkan terlalu banyak penyakit. Dan di lain sisi, ada banyak komunitas spiritual yang menjamur di Barat menawarkan kedamaian. Namun, bersamaan dengan itu, tidak sedikit tempat suci yang harus dijual karena tidak punya jemaat lagi.

Ia menghadirkan tantangan baru bagi agama-agama ke depan yakni bagaimana memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian. Tanpa kemampuan memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian, lebih-lebih memperpanjang daftar kekerasan yang sudah panjang, maka bukan tidak mungkin ada agama yang mengalami kepunahan di masa depan. Sekulerisme meraja, hedonisme menggila dan memang ia tanda-tanda akhir zaman.

أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ الْمَالُ فَيَفِيضَ حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ صَدَقَةً وَيُدْعَى إِلَيْهِ الرَّجُلُ فَيَقُولُ لاَ أَرَبَ لِي فِيهِ ‏”‏ ‏.‏

Dari Abu Hurairah dari Nabibersabda: “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga harta menjadi banyak pada kalian, harta itu terus melimpah sehingga membingungkan pemiliknya siapakah yang mau menerima shadaqah darinya, lalu seseorang dipanggil kemudian dia berkata, ‘Aku tidak membutuhkannya.” (HR. Bukhari)

Kalau boleh jujur, di mana-mana muncul generasi baru yang mempertanyakan antara keindahan ajaran agama dengan realita keseharian yang penuh kekerasan. Semakin jauh jarak antara realita dengan ajaran agama, semakin sedikit ada generasi baru yang tertarik belajar agama. Meminjam cerita Zen, setiap kata hanyalah jari yang menunjuk bulan. Bahkan kata-kata kitab suci pun tidak bisa mengantar manusia menemukan pencerahan, terutama bila hanya sebatas dimengerti kemudian dilupakan. Persis seperti cerita Nasrudin mencari jarum. Bagaimana bisa ketemu, ketika jarum hilangnya di rumah, tetapi mencarinya di luar rumah. Ketika ditanya mengapa? Alasannya, di rumah gelap, sedangkan di luar rumah terang- benderang. Itulah gambaran yang terjadi sekarang. Salah alamat.

Banyak yang belum bisa membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Di banyak kepala, masih saja terbentuk cetak biru senang selalu identik dengan bahagia. Oleh karena itu, mereka memuaskan dengan cara-cara fisik yang tampak untuk memperoleh kebahagiaan. Ini biang-keladinya. Padahal ini adalah jejaring syaitan. Jebakan batman.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (17)

Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS Al-A’raf:16-17)

Sulit membayangkan ada pencerahan, ada kebahagiaan, tanpa ketekunan latihan dalam keseharian. Sayangnya, ini yang tidak mau dilakukan oleh banyak orang. Hanya berbekalkan intelek, kemudian berharap pencerahan. Ia serupa dengan hanya melihat ujung jari yang menunjuk bulan tapi mau segera sampai di bulan. Hingar-bingar dunia telah mencampakkan kebanyakan orang untuk mencari kedamaian dunia dan alam setelahnya. Padahal Allah telah berpesan; Jangan mempengaruhimu bolak-baliknya hati orang-orang kafir di segala penjuru negeri, tetapi tetaplah bersabar dan menyabar-nyabarkan diri, tekun berlatih dan mengasah diri sehingga menjadi orang yang beruntung. Dunia akhirat. Jangan sampai juga seperti unta yang akan masuk ke lubang jarum.

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلادِ (196) مَتاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْواهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهادُ (197)  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصابِرُوا وَرابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (200)

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.” (QS Ali Imron; 196, 197 dan 200).


Sumber berita : https://ldii.or.id/kisah-jarum/

built with : https://erahajj.co.id