Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Ada sebuah gambaran indah dari relief Candi Borobudur. Relief yang tertempel di dinding batu candi itu mengisahkan tentang seekor burung. Bukan sekedar burung, tetapi burung ini berkepala dua. Anehnya lagi, satu berleher panjang dan satunya lagi pendek. Digambarkan pula, si leher panjang dengan daya jangkaunya, sanggup menggapai segala macam ranting pohon dan makan buah-buahannya dengan gampangnya. Sementara si leher pendek tak mampu menggapai satu buah pun untuk dilahapnya.
Si leher pendek memohon belas kasihan kepada si leher panjang agar mau berbagi, memberinya makanan. Tapi, dasar apatis, gak mau tolong – menolong, saling asih, si leher panjang tak sudi memberinya. ”Ambil saja sendiri kalau bisa,” itu kata yang sering diucapkannya. Sedih nian nasib si leher pendek. Hidup begitu berat, tapi “saudara” setubuh tidak tersentuh untuk memberikan “sedekah”. Permohonan diabaikan. Lupa akan keberadaan, asal-usul. Maka, daripada cuma melihat impian kosong, dia mematuk umbi beracun yang ada dalam jangkauan lehernya. Apa boleh buat, akhirnya burung berkepala dua dan bertubuh satu itu pun tewas.
Walaupun cuma relief, rasanya begitu dekat dengan kehidupan nyata. Seperti menyentil setiap relung jiwa yang bercahaya. Akan hakikat hidup dan kewajiban harus bagaimana untuk mengisinya. Batin pun terkoyak. Ngeri membayangkan jika benar-benar menjumpainya. Senada dengan ini, ada cerita tua dalam naskah-naskah agung yang bercerita serupa. Kali ini bercerita tentang manusia dalam perahu. Imam Bukhari mengisahkan dengan lengkap dari jalur periwayatan Nu’man bin Basyir ra.
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ قَالَ سَمِعْتُ عَامِرًا يَقُولُ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا * رواه البخاري
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya’ berkata, aku mendengar ‘Amir berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhuma dari Nabi ﷺ bersabda; ”Perumpamaan orang – orang yang berpegang teguh kepada peraturan – peraturan Allah (Hududillah) dan orang – orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang melakukan undian di kapal, maka sebagian dari mereka menempati bagian atasnya dan sebagian yang lain menempati bagian bawah. Lalu orang – orang yang berada di bagian bawah ini apabila akan mencari air, maka mereka melewati orang – orang yang ada di bagian atas mereka, dan mereka berkata, ’Kalau sekiranya kita membuat lubang untuk bagian kita dan kita tidak harus mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Jika orang – orang yang di atas itu membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau, tentu mereka binasa semuanya, dan jika orang – orang yang di atas itu mencegah mereka, maka mereka selamat dan orang – orang yang di atas itu pun selamat semuanya.” (Rowahul-Bukhari)
Bertambah jelas. Disadari sepenuhnya atau sebagian, hidup memang dicipta saling kebergantungan. Kehidupan adalah sebuah siklus yang mengharuskan saling menolong. Tiada yang menguasai atau dikuasai. Tanpa keserakahan, penuh ketulusan. Selalu ingat sekeliling. Ingat samping kiri dan kanan. Saling membantu, saling membahu. Semampunya. Punya empati dan simpati. Saling mengingatkan, saling mengasihi. Dengarlah pesan lembut Sang Guru sejati; “Kalau tidak bisa berbuat baik, yang penting jangan menyakiti.” Kalau tidak, sirnalah peradaban manusia di muka bumi ini. Dan rugilah orang-orang yang mengklaim diri di atas kebenaran, tapi tidak mau berbagi. Kebenaran bukan menara gading. Kebenaran adalah energy untuk peduli baik diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ ” . قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ .
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dari Nabi ﷺ bersabda; “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan.” Berkata Abu Isa; Ini hadits hasan. (Rowahut Tirmidzi)
Kawan, kita hidup di dalam perahu yang satu, yang disebut “bumi” tempat kita berpijak hari ini.
Sumber berita : https://ldii.or.id/esai-manusia-dalam-perahu/