Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Sembari menikmati masa-masa isolasi dan social distancing measure, hadits yang kami sampaikan sebelumnya, yaitu kisah Umar bin al-Khotthob yang menggagalkan perjalanan ke Syam karena tho’un, insya Allah menjadi bahan pembelajaran yang sempurna. Lengkap dengan intrik dan happy ending-nya. Harapannya bisa bersikap yang tepat dan indah, menyejukkan dalam berbicara dan pas dalam bertindak, ujung-ujungnya menyempurnakan keimanan dan penerimaan takdir dengan benar. Tidak mempertentangkan satu dengan lainnya, tetapi bisa merangkum dalam satu pemahaman yang saling menguatkan. Alangkah indahnya.
Ijtihad Umar untuk menjauh dari wabah tho’un tidaklah tanpa perlawanan. Banyak para sahabat waktu itu, baik dari Muhajir maupun Anshar, yang bersikeras untuk meneruskan perjalanan dengan alasan yang kuat karena dalam sabilillah. Dalam bahasa sekarang yang sering kita dengar misalnya; mati dan hidup itu sudah ada ketentuannya, takut itu hanya pada Allah atau kalau mati surga balasannya, kenapa takut? Ucapan itu tidaklah salah, hanya tidak pada waktu dan tempatnya. Gambaran Umar tentang lari dari takdir satu ke takdir yang lain pun masih belum bisa diterima. Sampai akhirnya Abdurrahman bin Auf, menyampaikan fatwa indah Rasulullah SAW yang bunyinya, ‘Jika engkau mendengar wabah tha’un di sebuah negeri, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah tho’un terjadi di negeri yang engkau tinggali, janganlah engkau meninggalkan negerimu karena lari dari tha’un.‘
Nah, melengkapi hadits Ibnu Abbas ini, rasanya kita perlu menyimak kembali hadits shahih tentang sabda Rasulullah yang menyatakan tidak ada penyakit menular. Karena banyak yang menggunakan hadits ini sebagai negasi; dengan hadits-hadits yang lain. Padahal dalam ajaran sejatinya, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits lainnya sedikitpun. Imam Bukhari – Kitab Medis/Obat-obatan, menyajikan dengan lengkap agar bisa difahami dengan sempurna pula. Disajikan satu bidang dan berurutan. Sangat mencerahkan.
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” لاَ عَدْوَى ”. قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” لاَ تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ ”. وَعَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ أَخْبَرَنِي سِنَانُ بْنُ أَبِي سِنَانٍ الدُّؤَلِيُّ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” لاَ عَدْوَى ”. فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ أَرَأَيْتَ الإِبِلَ تَكُونُ فِي الرِّمَالِ أَمْثَالَ الظِّبَاءِ فَيَأْتِيهِ الْبَعِيرُ الأَجْرَبُ فَتَجْرَبُ. قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” فَمَنْ أَعْدَى الأَوَّلَ ”.
Dari Abu Hurairah, dia berkata sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; “Tidak ada Adwa – penyakit menular (menular tanpa izin Allah)”….dari Nabi SAW; “Janganlah kalian mencampur unta yang sakit dengan unta yang sehat.” ….dari Abu Hurairah, dia berkata sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; “Tidak ada Adwa – penyakit menular (menular tanpa izin Allah)”, maka berdiri seorang arab dan berkata; “Tidakkah kamu melihat bagaimana unta di pasir terlihat seperti rusa, tetapi ketika unta kotor bercampur dengan mereka, mereka semua terinfeksi kudis?”Kemudian Nabi SAW menjawab; “Kalau begitu siapa yang menulari (unta) yang pertama?”
Sengaja saya sisipkan kalimat (menular tanpa izin Allah), untuk memperjelas maksud kata tidak menular. Karena hal ini dipertegas dengan jawaban Nabi SAW kalau memang menular, terus siapa yang menulari unta yang pertama sakit. Jawabnya adalah atas kehendak dan izin Allah. Demikian juga dengan unta yang sakit selanjutnya, tentu terjadi atas kehendak dan izin Allah. Tetapi sebagai ikhtiar, maka jangan mencampur yang sakit dengan yang sehat. Maksudnya agar membantu keyakinan kita terhadap takdir Allah, bahwa kena atau tidak itu kehendak Allah, tidak menyalahkan dan mengatakan (berkata) menular. Beda dengan kalau terus bercampur, berpotensi akan menghilangkan keyakinan akan takdir Allah dan cenderung mengatakan tertular atau menular.
Mohon maaf, jika penjelasan singkat ini kurang memadai, atau malah membingungkan, karena beberapa keterbatasan. Namun yakinlah, tak ada maksud untuk menyalahkan, menggurui atau meremehkan. Hanya ada maksud baik untuk sama-sama rukun kompak menghadapi situasi ini. Dan terus berdoa semoga cobaan ini cepat berlalu dan kita selamat serta mendapatkan pahala yang berimpah dari situasi apapun yang kita hadapi saat ini.
Nah, sebagai penutup menarik menyimak obrolan anak saya, kakaknya si kecil, beberapa waktu lalu ketika saya ajak makan bebek goreng. Si Kakak bercerita, ada pengunjung mau makan ke Bebek Selamet, tapi dia kaget setengah mati dan berkata; “Lo kok menunya ayam semua mas, mana bebeknya?” Dengan santai pramusajinya menjawab; “Bebeknya selamet semua Pak!” Semoga Allah paring sehat, selamat dari corona dan barokah buat kita semua. Amin. Ajkh.
Sumber berita : https://ldii.or.id/esai-corona-2/