Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Alon-Alon (Pelan-Pelan Saja)

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 20 Januari 2023, 04:41:44

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Menggeluti kisah-kisah terdahulu sungguh penuh hikmah dan tantangan. Perlu kesabaran memang untuk menyibak yang tersurat dan tersirat, hingga mendapatkan cahaya pencerahan mendalam. Bonusnya mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira kemudian. Kadang dihiasi dengan senyum-senyum sendiri, pertanda memenangi situasi dan keadaan. Sebagai jembatan pemahaman, perkenankan kami sajikan dua kisah indah sebagai titik awal. Banyak kisah-kisah serupa yang tersedia dan silakan untuk bisa terus mengakses dan menjelajahinya. Pertama, mari simak dialog penuh pelajaran dari Ummil Mu’minin Aisyah dengan Rasulullah ṣallallahu alaihi wa sallam berikut ini.

أَنَّ عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها ـ زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ دَخَلَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ‏.‏ قَالَتْ عَائِشَةُ فَفَهِمْتُهَا فَقُلْتُ وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ‏.‏ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ مَهْلاً يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ ‏”‏‏.‏ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ

Sesungguhnya Aisyah radiyallahu anha, istri Nabi ṣallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, mereka lalu berkata, ‘Assamu ‘alaikum (semoga kebinasaan atas kalian)’.” ‘Aisyah berkata, “Saya memahami maksudnya maka saya menjawab, ‘Wa ‘alaikumussam wal-la’nah (semoga kebinasaan dan laknat tertimpa atas kalian).” Aisyah berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Tenanglah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah-lembut pada setiap perkara’.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang telah mereka katakan?” Rasulullah ṣallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Saya telah menjawab, wa alaikum (dan semoga atas kalian juga)’.” (HR Bukhari)

Berikutnya, kisah menarik dari penggalian Imam Al-Qurthubi yang menyebutkan sebuah cerita dari Ibnu Shabih. Suatu hari ada seorang laki-laki mengadu kepada Imam Hasan Al-Bashri tentang kegersangan dan kemarau panjang yang ia alami. Maka Hasan Al-Bashri berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Lalu datang lagi orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka ia berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Kemudian datang lagi orang lain memohon kepadanya, “Doakanlah aku kepada Allah, agar Ia memberiku anak!”, maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!” Hingga ketika datang lagi yang lain mengadu kepadanya tentang hasil ladang yang tak kunjung datang, akibat kekeringan yang melanda kebunnya, Hasan Al-Bashri tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “Beristighfarlah kepada Allah!” Maka, Ibnu Shabih bertanya kepadanya, “Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar?” Lalu Hasan Al-Bashri menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman;

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12)

Terinspirasi dari dua kisah ini, Sang Guru Bijak kemudian bertutur lembut mengajarkan kepada para muridnya cara belajar menemukan kedamaian dengan cara yag indah yaitu “menyederhanakan langkah.” Kisah dan cerita di atas adalah teladan. Banyak permasalahan diselesaikan dengan satu langkah indah. Tak perlu banyak, tetapi mencukupi. Maksud jelek dan ucapan yang menyakitkan cukup dijawab dengan satu kalimat – wa‘alaikum. Banyak problematika kehidupan yang harus dihadapi, cukup dijawab dengan banyak istighfar. Sungguh menakjubkan, bukan? Bukan hanya hasilnya, tetapi perhatikanlah jawaban yang diberikan. Seolah tidak terpikirkan sebelumnya, tetapi benar adanya. Banyak yang berespektasi tinggi, ternyata cukup dengan jawaban yang sederhana. Tidak muluk. Banyak di luar perkiraan pada umunya. Itulah langkah-langkah indah menyederhanakan masalah dengan sebuah langkah yang tepat.

Di sini, dalam praktik kehidupan yang sesungguhnya, pengertian menyederhanakan langkah bisa beragam. Bahkan banyak yang masih bingung dan sungkan. Namun izinkan kali ini, yang dimaksud adalah menemukan langkah-langkah sederhana dari setiap pengalaman kekinian dan pencapaian, sehingga wajah kedamaian mengemuka. Tentunya setelah belajar dan mendengar pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Sebab banyak dikeluhkan, kedamaian hilang karena cepatnya orang melangkah kemana-mana. Karena keinginan terus bergerak naik sejalan dengan tercapainya sejumlah kesenangan dan pencapaian. Tatkala keinginan memiliki motor tercapai, muncul keinginan membeli mobil. Setelah menjadi manajer, terlintas ambisi menjadi direktur. Ketika satu keinginan terpenuhi, segera timbul keinginan baru yang lain untuk segera dipenuhi. Keinginan tak ada akhirnya, melampaui batas dan waktu. Kehidupan menjadi lelah karena terus beranjak dan bergerak, berkejaran. Akhirnya tujuan tak kepegang, diri tak terkendali dan kedamaian yang diharapkan pun menghilang. Maka, para tetua jawa dengan bahasa santun sering mengingatkan; alon-alon waton kelakon. Jangan buru-buru. Lambatkan langkahmu. Bukan berarti berdiam diri, terlindas zaman, akan tetapi mengingatkan untuk terus berbenah, berbekal diri dan melangkah lagi dengan pasti. Dengan kesabaran dan keramahan, dibarengi kemauan penuh instrospeksi membangun diri, melengkapi kompetensi. Jangankan dalam bergerak, dalam berdoapun banyak yang tidak sabaran. Inilah cermin yang mengharukan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي ‏”‏

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa salah seorang di antara kalian pasti dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa. (Yaitu) orang tersebut berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Dia tidak mengabulkannya untukku.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Mari kita urai dan perjelas dengan kegiatan keseharian. Ditemukan banyak orang jenuh bekerja, alih-alih ada yang gila kerja. Langkah-langkah kerja itu membosankan. Ia lawannya rekreasi. Lelah, capek, serba-salah, kalau benar atasan diam, bila salah atasan mengomel. Tatkala pelayanan baik, pelanggan melenggang, saat pelayanan salah sedikit saja, maka makian menghadang. Itulah gambaran kerja yang dibikin banyak manusia dengan ritme fast food. Suntuk. Kurang sabar. Pencari kedamaian lain lagi. Langkah kerja disederhanakan. Kerja bukan tong sampah yang berisi keluhan. Kerja menyembunyikan berlimpah peluang untuk menemukan buah kedamaian. Perhatikan setiap tugas yang datang. Dengan sedikit cara pandang positif dalam menyederhanakan langkah, terlihat bahwa kerja adalah cermin kepercayaan atasan ke kita. Tanpa rasa percaya atasan tidak mungkin ada kerja. Dengan demikian ada kedamaian dalam setiap tugas yang datang. Jangan dibuat ruwet dan jangan dibuat repot. Just do it! Banyaknya kemarahan atasan, banyaknya keluhan pelanggan sebagai contoh lain, adalah terbukanya jalan sederhana menuju pintu perbaikan diri. Tanpa kemarahan atasan, tanpa keluhan pelanggan, kita semua seperti petinju tanpa lawan. Datar dan bosan sekali kerja jadinya. Dan di situlah berkahnya, ada langkah sederhana kedamaian di balik kemarahan atasan dan keluhan pelanggan. Dari Abu Said Al-Khudri dan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhuma, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, atau kegundahan bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dari kesalahan-kesalahannya dengan semua musibah tersebut.” [Muttafaqun Alaih)

Gaji, insentif dan bonus yang tidak memuaskan, kerap menjadi bom waktu dan sumber yang menghancurkan kedamaian. Dari sisi pekerja, judul yang diambil adalah bos-bos yang pelit, perusahaan tak bonafit, kurang apresiasi terhadap kerja keras pekerja dan pengusaha yang mau untung sendiri. Dari segi atasan dan pengusaha, judulnya adalah penghematan, investasi masa depan dan penyesuaian terhadap kondisi eksternal. Dan lenyaplah sudah kedamaian dari dunia kerja. Padahal, dengan sedikit rasa syukur dan kerelaan untuk berhenti membandingkan kehidupan dengan mereka yang lebih tinggi, gaji, insentif dan bonus sekecil apapun bisa menjadi sumber kedamaian. Dalam bahasa sederhana para pakar, we can be prosper at any level of income. Kita bisa bahagia dengan penghasilan berapa saja. Makan, pakaian, penampilan, kendaraan semuanya bisa disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Memaksa memperbanyak langkah agar selalu lebih baik dibandingkan orang lain, itulah bom penghancur kedamaian yang sesungguhnya. Apalagi jika dibarengi dengan api ketamakan dan gelegar kemarahan. Musnahlah semuanya. Ingatlah wasiat indah berikut.

عن أبي هُريرةَ ؛ قالَ : بَيْنَا نحنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ _ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ _ ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ منَ الثَنِيَّةِ ، فَلَمَّا رَمَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا ، قُلْنَا : لَوْ أنَّ ذَا الشَّابَّ جَعَلَ نَشَاطَهُ وَشَبَابَهُ وقوَّتَهُ في سَبِيلِ اللَّهِ ، فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ اللَّهِ _ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ _ ؛ فقالَ : ” ومَا سَبِيلُ اللَّهِ إلاَّ منْ قُتِلَ ؟ ، مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ ؛ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، ومَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ ؛ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، ومَنْ سَعَى مُكَاثِراً ؛ فَفِي سَبِيلِ الشَّيطَانِ ”

Dari Abu Hurairah, ia berkata,” Pada saat kami bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba muncul di hadapan kami, seorang pemuda dari lembah. Ketika kami perhatikan dirinya, kami berkata, “Andai saja pemuda itu menjadikan ketangkasannya, masa mudanya, dan kekuatannya untuk di jalan Allah.” Rasulullah ﷺ mendengar ucapan kami, lalu beliau bersabda,”Apakah jalan Allah itu hanya (bagi) orang yang gugur (dalam jihad)? Siapa saja yang bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia di jalan Allah, siapa saja yang bekerja untuk keluarganya, maka ia di jalan Allah. Dan siapa saja yang bekerja hanya untuk memperbanyak harta maka dia di jalan setan.” (HR Ath-Thabrani)

Nah, yang mau diceritakan di sini sebenarnya sederhana, yaitu ada peluang kedamaian di setiap langkah kehidupan. Kedamaian akan terdekap, kesembuhan akan mendekat, bila kita rajin melatih diri untuk memandang segalanya secara mendalam: tidak terlalu mudah dibawa lari kemarahan dan menyederhanakan langkah dalam pencapaian. Pelan-pelan saja (alon-alon waton kelakon). Selanjutnya, perbanyak istighfar, penuhi waktu dengan syukur, dan rajinlah berbagi senyuman. Terutama karena senyuman bukan hanya sedekah yang ringan, melainkan juga tanda bahwa seseorang sudah menjadi tuan diri sendiri, bukan korban kehidupan.

The post Alon-Alon (Pelan-Pelan Saja) appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/alon-alon-pelan-pelan-saja/

built with : https://erahajj.co.id