Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Menjalin Ukhuwah, Merajut Kebersamaan

Cukup Sudah

Kategori : LDII News, Nasehat, Ditulis pada : 25 November 2022, 07:04:50

Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Yang dikejar dalam hidup ini memang beragam. Tidak bisa dibatasi, melampaui ekspektasi. Bahkan menerobos rambu dan batasan yang ada. Ada yang mengejar kekayaan, ada yang suka popularitas, ada yang lapar dengan kekaguman orang dan ada yang serius di jalan-jalan spiritual mengalahkan segala-galanya. Dan tentu saja, itu boleh-boleh saja. Sebab itu adalah hak setiap orang. Itulah yang membuat riuh-rendahnya dunia. Fenomena ini sudah digambarkan dengan jelas oleh Baginda Rasul beribu tahun yang lalu.

عن أنس رضي الله عنه قال: خطَّ النبيُّ صلى الله عليه وسلم خُطُوطاً، فقال: “هذا الإنسان، وهذا أجَلُهُ، فبينَما هو كذلكَ إذ جاءَ الخَطُّ الأقْرَبُ”. عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: خطَّ النبيُّ صلى الله عليه وسلم خطاً مربعاً، وخطَّ خطاً في الوسطِ خارجاً منه، وخطَّ خططاً صغاراً إلى هذا الذي في الوسطِ من جانبِه الذي في الوسطِ، فقال: «هذا الإنسانُ، وهذا أجلُهُ محيطاً بِه -أو قد أحاطَ بِه- وهذا الذي هو خارجٌ أملُهُ، وهذه الخُطَطُ الصِّغَارُ الأعْرَاضُ، فإن أخطَأهُ هذا، نَهَشَهُ هذا، وإن أخطَأهُ هذا، نَهَشَهُ هذا»

Dari Anas -raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata, “Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- membuat beberapa garis (di tanah), lalu bersabda, “Garis ini adalah manusia dan garis ini adalah ajalnya. Ketika orang itu sedang dalam keadaan tersebut, tiba-tiba datanglah garis yang lebih pendek (ajal).” Dari Ibnu Mas’ud -raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata, “Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- membuat garis berbentuk persegi empat dan membuat gari lain di tengah-tengahnya yang keluar dari garis persegi empat tadi. Beliau juga membuat lagi beberapa garis kecil-kecil di tengah-tengah sampai ke pinggiran garis yang tengah, lalu beliau bersabda, “Ini adalah manusia dan ini adalah ajalnya meliputi diri manusia tadi, atau memang telah meliputinya. Garis yang keluar dari kotak ini adalah angan-angannya, sedangkan garis-garis kecil ini adalah halangan-halangannya. Jika ia terluput dari yang ini (bencana ini), ia terkena yang satunya lagi. Dan jika ia luput dari yang ini, maka ia tentu akan terkena oleh yang itu.” (HR Bukhari)

Namun, rasanya semua kepala setuju, kalau yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan memburu kekayaan. Jangan salah, perlu diperjelas kembali dalam hal kekayaan ini, ternyata tidak hanya kekayaan luar (material), namun juga kekayaan yang ada di dalam (spiritual). Walau tentu saja, jumlah yang memburu kekayaan luar jumlahnya jauh lebih banyak daripada kekayaan dalam. Gampangnya, kerumunan orang di pasar-pasar, di tempat konser dan keramaian stadion lebih banyak ketimbang mereka yang berkumpul di tempat ibadah.

Pilihan untuk menjadi kaya memang bisa dimengerti. Juga disenangi di benak kalayak. Tidak perlu njlimet. Abai konsekuensi, lupa tata cara. Yang penting cepat kaya. Sebab dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Mau makan apa saja tinggal pesan. Pengin jalan kemana-mana tinggal bilang. Mau tidur di hotel berbintang tinggal datang. Melancong ke tempat-tempat eksotis semudah menggerakkan telunjuk tangan. Pun dengan kekayaan spiritual, manusia bisa berjalan lebih jauh di lorong – lorong kehidupan. Ziarah-ziarah ke tempat suci jadi kebiasaan. Bisa berderma dan berbagi sepanjang kata hati. Selalu hadir di majelis-majelis tingkat tinggi dan diam berlama-lama di tempat sunyi bersama dengan Sang Pemilik langit dan bumi.

Di tengah hiruk-pikuk pencarian kekayaan seperti ini, seorang bijak-bestari pernah menganjurkan sebuah jalan sederhana nan mulia untuk menjadi kaya. Sebuah ajaran dengan sudut pandang yang agak berbeda: contentment is the greatest wealth. Rasa cukup adalah kekayaan terbesar. Tentu agak unik mendengarnya, bukan? Apalagi di zaman 4.0, yang penuh dengan hingar-bingar pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan terbesar, bisa dituduh anti mainstream, gagal paham, lupa daratan, bahkan bagi yang tidak beruntung bisa diberi predikat gila sekalian. Akan tetapi, inilah wasiat indah yang sebenarnya disabdakan Rasulullah SAW berabad-abad yang lalu kepada umat manusia.

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban)

Sebagian mengira yang demikian itu menganjurkan kemalasan. Sebagian lagi ada yang menuduh anti kemajuan. Golongan garis keras malah melabeli dengan ‘dungu’ dan sok kaya. Hanya saja, bagi setiap penekun kehidupan, mereka tak bergeming. Apalagi yang sudah mencoba berjalan jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Itu bukan. Akan tetapi, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, dan terimalah hasilnya dengan rasa penuh kecukupan. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah telah mencukupi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az Zumar: 36).

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya.” (QS ath-Thalaaq:2-3).

Ada yang berbeda jauh di sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya berputar, rasa syukurnya mengagumkan, dan bonusnya mudah terhubung dengan kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja di keramaian, di hutan yang sepi sekalipun ia menemukan banyak teman dan tempat yang nyaman. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An-Nahl: 53)

Dalam pencerahan seperti inilah, merasa cukup jauh dari sekadar damai dan bahagia, melainkan kunci agar manusia terlempar nyaman ke dalam jaring – jaring kehidupan. Hidup yang ideal ialah kombinasi antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di sisi lain. Bila orang-orang seperti ini mampu berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang ala kadarnya di luar, namun pintar dan mengagumkan di dalam. Rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang lain dan sekelilingnya. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai sebaliknya pun tidak ada masalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Itulah kekayaan hakiki, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) disertai rasa cukup yang mendalam dan rasa syukur yang mengagumkan, ditemukan kehidupan penuh daya guna sekaligus pelayanan sempurna penuh makna. Dalam hal ini, semoga kita semakin dibimbing kalimat hikmah wasiat indah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قد أفلح من أسلم، ورُزق كفافًا، وقنعه الله بما آتاه

“Sungguh beruntung orang diberi hidayah Islam, diberi rezeki cukup dan Allah menjadikan qona’ah (rasa cukup) dengan apa yang Allah berikan.” (Rowahu Muslim).

Menjelaskan hadits ini seorang yang berbaik hati nun jauh di sana, mengirimkan pesan indah menyentuh. Nasehatnya; “Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki, yaitu rezeki yang dapat mencukupi kebutuhan dan mengantisipasi kondisi darurat. Dan dianugerahi sifat qana’ah, di mana jiwanya tidak berambisi untuk memperoleh melebihi kebutuhan. Maka, siapa saja yang memiliki ketiga hal tersebut sungguh telah sangat beruntung.” Dan cukup sudah, pelajaran cukup kali ini, tinggal memahami dan implementasi.

The post Cukup Sudah appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.


Sumber berita : https://ldii.or.id/cukup-sudah/

built with : https://erahajj.co.id