Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Inilah gambaran sekelumit kehidupan dalam kekinian. Kecurigaan, kekakuan, ketakutan bercampur menjadi beban berat kehidupan yang digendong orang ke mana-mana. Ketidakpuasan, kekecewaan, ketidaksabaran menambah beban penderitaan mencapai puncaknya. Ditambah ketidaksyukuran, kekurangsyukuran dan kelupaan untuk bersyukur, menjadikan perjalanan kehidupan terasa sangat berat dan mencekat. Eloknya, bukannya ditaruh, justru lebih banyak manusia yang rela menggendong beban itu ke mana-mana. Hasilnya kehidupan berwajah tidak ramah, penuh tampang resah dan kurang bergairah.
Terus terang, saya pernah mengalami hal serupa. Tanpa terasa, menggendong beban-beban berat yang tidak perlu itu ke mana saja. Pundak dipenuhi beban ketakutan akan masa depan. Kepala disesaki pikiran kekhawatir tentang masa kini. Tangan dan kaki sarat rasa cemas akan masa lalu, dan di dalam hati diliputi kegamangan lain, melengkapi ketiganya. Para orang tua yang sudah mapan khawatir tentang masa depan putera-puterinya. Yang muda dan perkasa takut ditinggal orang-orang tercinta dan kelompoknya. Ada yang gelisah akan kandasnya cita-cita. Ada yang resah tidak terpenuhi keinginannya. Dan ada juga yang tidak bahagia, walaupun sudah mendapatkannya. Kok cuma segini, kok tidak banyak, kok, kok dan kok yang susul-menyusul. Ujung-ujungnya kecewa.
Agar tidak terlalu jauh tenggelam dalam kekecewaan dan kegelisahan, segeralah kunjungi kolam-kolam kejernihan. Biasanya ia hadir bersama air terjun kehidupan. Nikmatilah kesegarannya, namun jangan lupa akan pesan pembelajarannya. Seorang guru kehidupan pernah berkata; Flow with whatever may happen and let your mind be free : Stay centered by accepting whatever you are doing. This is the ultimate. Ketika hidup sudah mengalir dengan apa saja yang mungkin terjadi, kemudian dengan modal tadi manusia belajar “terpusat” dengan menerima proses yang sedang terjadi, tatkala itu juga perjalanan sampai di puncak kehidupan.
Tidak tiba-tiba memang, semua harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesabaran. Ya, kehidupan laksana air. Mengalir itu modal pertama. Terpusat pada proses yang sedang terjadi, itu modal kedua. Serupa dengan aliran air di sungai, kehidupan tidak saja terus berjalan. Tetapi yang lebih inspiratif, kelenturanlah yang membuat air bisa melewati setiap rintangan. Inilah jawaban pertama dari semua permasalahan di atas.
Ada yang menyebut kehidupan mengalir seperti ini sebagai sikap yang tidak konstruksif. Namun, dalam kedalaman kolam kontemplasi, justru dengan mengalir itu sendirilah terletak banyak misteri kehidupan yang tidak bisa diberikan oleh reputasi, harta dan bahkan tahta. Lebih-lebih kalau keadaan mengalir tadi dilengkapi dengan keterpusatan pada proses yang sedang terjadi dan menyongsong hasilnya hanya dengan kendaraan keikhlasan. Itulah puncak kebahagiaan, mahkota kehidupan. Sejumlah sahabat jernih menyebutkan, inilah yang kerap disebut dengan pencerahan. Sayangnya sangat sedikit orang yang pernah sampai di sana. Allah berfirman:
(وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا كَمَاۤءٍ أَنزَلۡنَـٰهُ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِیمࣰا تَذۡرُوهُ ٱلرِّیَـٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ مُّقۡتَدِرًا)
“Dan berikan perumpamaan kenikmatan dunia kepada mereka, ia bagaikan air yang kami turunkan dari langit, lalu air tersebut meresap dan menumbuhkan tanaman di bumi, lalu tanaman tersebut mengering dan diterbangkan oleh angin, dan Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi 45)
Dengan kesadaran dan pemahaman seperti ini, tentu saja tidak disarankan untuk meninggalkan pekerjaan, menjauhi keluarga dan mengasingkan diri dari masyarakat dengan maksud menjauhi masalah dan karena putus asa. Penggambaran kehidupan seperti air terjun hanyalah simbolik saja. Karena air terjun kejernihan dan pencerahan tadi sebenarnya ada di mana-mana. Suara-suara jernihnya pun berbisik setiap saat. Sayangnya, melalui kesukaan orang untuk hidup secara ngotot akan hasil, kaku harus berhasil dan dibarengi bumbu rasa iri dan dengki, kemudian telinga-telinga kehidupan menjadi tuli akan suara jernih terakhir. Apa lagi kengototan tadi bertemu dengan pikiran yang tidak pernah terpusat di hari ini. Jadilah ia semacam kombinasi yang berujung pada kehidupan tidak nyata. Jauh dari keseharian, jauh juga dari kejernihan; kesyukuran dan keikhlasan.
Selain sikap di atas, ada teladan indah menyikapi dinamika ini. Disebutkan oleh Abu Sa‘id al-Khudri, pada suatu hari, Rasulullah ﷺ masuk ke masjid dan bertemu dengan Abu Umamah. Beliau kemudian menyapa, “Hai Abu Umamah, ada apa denganmu, duduk di masjid di luar waktu shalat?” Abu Umamah menjawab, “Kebingungan dan utang-utangku yang membuatku (begini), ya Rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Maukah kamu jika aku ajarkan suatu bacaan yang jika kamu membacanya, Allah akan menghapuskan kebingunganmu dan memberi kemampuan melunasi utang?” Abu Umamah menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Jika memasuki waktu pagi dan sore hari, maka bacalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan dan kekikiran, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang-orang.”
Abu Umamah menuturkan, “Setelah aku mengamalkan doa itu, Allah benar-benar menghilangkan kesusahanku dan memberi kemampuan melunasi utang.” (HR Abu Daud)
Berlindung dari al-hammi maksdunya adalah terhindar dari kesusahan gagalnya meraih cita-cita. Pengin A yang didapat juga A. Sedangkan berlindung dari al-hazan maksudnya adalah terhindar dari kesedihan terkabulnya cita-cita, tetapi tidak sesuai dengan keinginan semula. Pengin C dapatnya D.
Lengkap sudah. Menyelam sambil minum air. Teruslah belajar menyelami kehidupan ini, dan penuhi hati sanubari dengan siraman doa dan kesyukuran sebagai sajian indah setiap hari. Jangan sampai seperti kata pepatah: “ikan mati kehausan di dalam air!”
The post Kesusahan appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/kesusahan/