Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Tidak terbantahkan. Sudah banyak contoh dan teladan. Dari dulu, maupun sekarang. Dan jika kita mau jujur pun, bisa merasakan. Bahwa semua orang kena penyakit ini. Ada yang besar, ada yang kecil. Tergantung bagaimana menyikapi. Juga ada kontribusi zaman yang berkelindan, sehingga banyak yang terpengaruh mengikuti jejaknya. Terlebih di era kesejagadan ini. Semua begitu dekat dan begitu mudah untuk sekedar meniru. Karena itu, Allah dengan tegas memberi peringatan untuk dicermati.
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
“Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya kalian menguasai gedung-gedung rahmat Tuhanku, niscaya ketika itu kalian tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan manusia itu memang sangatlah kikir.” (QS Al-Isra: 100)
Nah, perpaduan sempurna antara kemajuan zaman dan gaya hidup kekinian semakin menguak kenyataan. Kalau mau survei boleh untuk pernyataan-pernyataan berikut. Rasanya sangat aneh, di dunia yang biasa menyembah ego, kemudian mengesampingkan diri sendiri. Bantuan untuk orang miskin misalnya, bukannya ditambah, malah dikurangi dan dikorupsi. Sangat jarang ditemui, di zaman orang meletakkan nomor satu sebagai satu-satunya kelayakan kehidupan, kemudian berbalik memperhatikan orang lain. Masih banyak orang tua yang bangga jika anak-anaknya bisa ranking 1. Demikian juga dengan sikap masyarakat. Di tengah hingar-bingar kehidupan yang egois –kapitalis, sangat jarang ditemui membangun kebahagiaan dengan cara membahagiakan orang lain; “orang lain lebih penting, saya tidak penting”. Buktinya antri belum menjadi budaya yang membanggakan di bangsa ini, walau guyub dengan gotong-royong.
Tiga hal di atas terasa asing, sehingga membuat kita seperti dungu dan menjadi bodoh dibuatnya. Bahkan ada yang menyetempel tolol sekalian. Karena membiarkannya berkembang, bertumbuh dan meninabobokan. Tetapi semua itu benar adanya. Padahal sangat berbahaya.
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَٮٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرٌّ۬ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۗ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS Ali Imran : 180).
Mungkin kita perlu sebuah cara pandang lain, untuk menimbang dan membuka wawasan. Dari dunia korporasi misalnya, ternyata ada fenomena yang menakjubkan. Seperti antithesis terhadap sikap-sikap kontraproduktif yang melekat di banyak kepala selama ini. Dan itu sudah terbukti dan teruji. Tengoklah, raksasa pelayanan kelas dunia seperti Qatar Airways, Air New Zealand, Singapore Airlines, Qantas dan Emirates, keberhasilan mereka dikarenakan rajin mengajari orangnya bahwa “orang lain penting”. Lihatlah, karyawan Microsoft yang digawangi Bill Gates, mengajari para eksekutifnya untuk lebih banyak mengalokasikan waktunya membantu orang-orang yang membutuhkan di negara-negara terbelakang. Dan banyak lagi program-program serupa yang dilakukan korporasi lewat program pemberdayaan atau tanggung jawab sosial. Semakin banyak memberi dan memperhatikan orang lain, terutama sekali bagi yang membutuhkan, semakin bagus dan bertumbuh usaha yang dilakukan. Bahkan semakin besar dan besar.
Di dunia spiritual, malah lebih jelas lagi. Bagi mereka yang benar-benar mendalami dengan seksama, tampak bahwa memperhatikan orang lain, menghormat orang lain, mendahulukan orang lain adalah keniscayaan. Menghormati tetangga, memulyakan tamu, berbakti kepada dua orang tua, menyayangi anak-anak, mencintai istri, adalah bagian dari mencintai Allah dan Rasulnya. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan memusnahkan ego dan kesediaan menempatkan yang lain melebihi diri sendiri. Sebab dengan cara itulah jiwa bisa bertumbuh dengan baik dan membawa seseorang sampai di tempat yang jauh, mulya lagi tinggi.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dari Nabi ﷺ bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (HR Muslim)
Sang Guru Bijak pada suatu kesempatan, berbagi cerita memperkuat hal ini. Kisah dialog menarik antara Husein dengan Ayahnya; Ali bin Abi Thalib, menjadi jembatan pemahaman penjabaran cinta kepada orang lain. Husein berkata; “Apakah ayah mencintai Allah?” Ali menjawab, “Ya”. Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah ayah mencintai kakek dari Ibu?” Ali kembali menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi: “Apakah ayah mencintai Ibuku?” Lagi-lagi Ali menjawab,”Ya”. Husain kecil kembali bertanya: “Apakah ayah mencintaiku?” Ali menjawab, “Ya”. Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Ali menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu sungguh hebat! Cintaku pada kakek dari ibumu (Nabi ﷺ), ibumu (Fatimah) dan kepada kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah”. Sungguh pembelajaran yang sempurna akan hakekat mencintai orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وتفعلُ، وتصدقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ من أهل النار قَالُوا: وَفُلَانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ بِأَثْوَارٍ، وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Dikatakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”
Mereka (para sahabat) berkata (lagi): “Fulanah (lainnya hanya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia adalah penghuni surga.” (Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad)
Di samping itu, alam juga penuh tanda. Ia tidak melarang manusia menjadi nomor satu. Jumlah batu yang menjadi puncak gunung jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang menjadi lereng dan dasar gunung, bukan? Bila usaha hanya berujung pada nomor dua, ia sebuah pertanda mulia: kita sedang menjadi lereng dan membuat orang lain jadi nomor satu, di puncak. Bukankah ini sikap yang menyentuh? Perlambang alam lain, kelapa tumbuh di pantai, cemara tumbuh di gunung. Pemuja ego telah membuat banyak manusia jadi nomor satu, lengkap dengan hawa panas ala kelapa di pantai. Bagi pecinta jalan spiritual memberikan inspirasi tentang kehidupan yang menyentuh karena berbahagia jadi nomor dua, mempersilakan orang lain menjadi nomor satu, mirip cemara yang sejuk di gunung. Bila pencinta nomor satu berfokus pada menjadi benar dan hebat, kesejukan ala cemara berfokus pada menjadi baik dan menyentuh. Ia serupa kisah tiga anak yang memilih tiga buah pir pemberian tetangga. Pemuja ego akan memilih yang terbesar dan tersegar. Dan itu adalah cermin kebanyakan dari kita. Sedangkan anak yang batinnya sejuk akan memilih yang terkecil dan terjelek. Ia berbahagia melihat orang lain menikmati buah pir yang besar dan segar. Ini jarang terjadi. Biasanya yang mendapat kecil dan jelek, menggerutu dan lupa untuk bersyukur. Dan berusaha bagaiman caranya mendapatkan yang besar dan segar. Yang dapat besar dan bagus, cenderung sombong atas usahanya dan kelemahan orang lain. Untuk itu, mari segera temukan yang lebih penting dalam hidup ini, sehingga kebakhilan dan kekikiran bisa diredam dan tersimpan dengan baik dalam diri ini. Sebab Allah berjanji dengan janji yang indah; dengan sebutan beruntung bagi siapa saja yang berhasil mengelola kekikiran diri. Itulah mengapa kita perlu mengenal dan belajar kikir.
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr: 9)
The post Belajar Kikir appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Sumber berita : https://ldii.or.id/belajar-kikir/